Minggu, 06 Juli 2014

DARI ZAMAN CAP KAPAK HINGGA MALA PETAKA PENYUNGKUPAN.docx



A. Zaman Cap Kapak
          Jumlah 21.037 korban kekejian Jepang adalah angka resmi dari pemerintah Provinsi Barat (1977) yang konontelah dicocokan dengan angka yang tercatat pada dokumen perang Jepang di Tokyo. Para korban diduga dipancung hidup-hidup dengan samurai setelah kepalanya ditutupi dengan sangkup. Setidaknya, ini terbukti dengan ditemukan banyaknya samurai patah dan batu asahan beserakan di sekitar tempat pembantaian massal itu.
          Peristiwa pembantaian iu tidak banyak diketahui penduduk. Warga mengira pimpinan feodal lokal itu diasingkan ke luar daerahnya  seperti kebiasaan yang dilakukan Belanda. Tapi ketika ada rakyat yang melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana serdadu Jepang memenggal korbannya, barulah mereka bahwa Dai Nippon jauh lebih kejam.
          Zaman pendudukan Jepang merupakan suatu masa yang diselimuti oleh kelaparan, derita, kemiskinan, ketakuatan, air mata, dan darah. Masa suram semacam itu ternyata tidak terjadi di Pulau Jawa, tetapi melanda hampir seluruh penjuru tanah air. Sebagai bukti pembantaian besar-besaran di Kalimantan Barat pada tahun 1942-1944. Memang sangat tragis, dan tentu saja memilukan. Dalam keadaan perang tempo dulu, Perang Dunia II, bangsa Indonesia telah dihela dalam garis penderitaan yang tidak terperkirakan. Berdasarkan peristiwa tersebut maka bisa diambil pelajaran bahwa sebab dari semua sebab penderitaan Bangsa Indonesia adalah peperangan.
          Jepang masuk Pontianak pada 19 Desember 1941. Pesawat tempurnya berderu-deru mengagetkan masyarakat yang shalat Jum’at. Mereka berlari menyambut kedatangan ‘Saudara Tua’ dengan lambaian tangan. Ternyata kesembilan pesawat itu menjatuhkan bom. Bumi Pontianak merekah, nyawa mereka meregang. Korban bergelimpangan. Kampung Bali, Parit Besar, dan jajaran Kampung Melayu porak poranda. Hanya butuh waktu delapan hari, balatentara udara Jepang menguasai Pangkalan Udara Singkawang II yan dibangun Belanda. Sementara itu armada Angkatan Laut Dai Nippon mendarat di Pemangkat, Singkawang, dan Ketapang. Pendaratan besar ini terjadi pada 22 Januari 1942. Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Namun, sebelum itu berjalan, Sambas, Mempawah, dan Ngabang dibumihanguskan Belanda. Belanda tidak rela hartanya dirampas Jepang.
          Ternyata pendaratan Jepang sama saja dengan penindasan. Banyak wanita atau gadis, terutama masyarakat Tionghoa, memilih bunuh diri ketimbang dijadikan pemuas nafsu. Bahkan, perampokan dan penganiayaan nyaris jadi pemandangan sehari-hari. Sasaran utama pemburu  harta adalah toko dan gudang milik penduduk Tionghoa. Apabila kendaraan pengangkut karung-karung beras dari toko jarahannya, masyarakat ikut menjarah. Kelaparan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
          Zaman ini terkenal dengan sebutan Zaman Cap Kapak. Serdadu Jepang mendobrak pintu-pintu dengan senjata kapak. Makin hari penghidupan rakyat kian tertekan. Maka timbul reaksi dari kalangan istana dan kaum pergerakan untuk bangkit mengadakan perlawanan. Pada waktu itu, di Kalimantan Barat terdapat 13 perkumpulan yang berpengaruh. Di antaranya yang menonjol adalah Pemuda Muhammadiyah, Surya Wirawan, dan Persatuan Anak Borneo. Namun, ke-13 badan tadi segera dibubarkan Jepang, dan melarang segala kegiatan perkumpulan dalam bentuk apapun.
B. Peristiwa Penyungkupan
          Para pemuda pergerakan yang dipelopori Noto Soedjono (Raden Pandji Mohammad Dzubier Noto Soedjono) dan dr. Roebini tidak kehilangan akal, mereka membentuk organisasi yang pura-pura memihak Jepang. Wadah bernama Nissinkai ini di restui Syuutizityo Minseibu Izumi dan disetujui pula oleh Komandan Teritorial Angkatan Laut Letnan Kolonel Yamakawa dan para perwira senior kempeitai, serupa Kapten Yamamoto, Letnan Nakatani, dan Letnan Hayashi.
          Agaknya melalui Nissinkai Jepang mengharapkan bisa mengaruhi pemuda masyarakat dan para pengusaha untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan dan dipersenjatai. Namun kemudian, pemerintah pendudukan itu mensinyalemen kalau Nissinkai telah ditunggangi gerakan bawah tanah yang bertujuan akan mendirikan negara Rakyat Borneo Barat. Gerakan itu sebenarnya memang ada, dan semboyan pergerakannya memakai sandi bernama Dum Spiro-spiro, yang artinya bergerak selagi bernapas.
          Beberapa tokoh pergerakan dan bekas pimpinan perkumpula yang dibubarkan Jepang diam-diam mengadakan perundingan rahasia. Mereka rupanya memanfaatkan Nissinkai. Gerakan bawah tanah ini, selain membonceng fasilitas Nissinkai, juga bermaksud memengaruhi para pejabat, pengusaha da tokoh masyarakat. Gerakan ini juga didanai oleh sejumlah pengusaha dan hartawan Tionghoa, diantaranya Ng Nyiap Sun yang belakangan ditunjuk sebagai bendahara pergerakan. Pelopor gerakan bawah tanah ini berjumlah 69 orang.
          Ketika Nissinkai telah terbentu, dari Banjarmasin datang Noomu Kakarityo Makaliwey bersama Kan Satukan dr. Soesilo, yang memberitahukan bahwa pemberontakan rakyat Banjarmasin yang dipimpin bekas Gubernur Borneo Haga tengah berkobar. Haga, cerita  mereka, tertangkap da dipenggal lehernya ditiang gantungan. Peristiwa ini kemudian membakar semangat pemuda dan pemuka masyarakat di Kalimantan Barat untuk segera melakukan pemberontakan. Sejak itu mulailah terjadi huru-hara di berbagai tempat. Para pemuda yang tadinya dilatih dalam seinendan, keibodan, dan heiho, berbalik melawan pendudukan Dai Nippon. Buntutnya, pada 14 April 1943, Syuutizityo mengadakan rapat kerja pertama Nissinkai. Rapat dihadiri 12 penguasa otonom feodal lokal (dua sultan dan sepuluh panembahan) serta segenap pejabat tinggi da penguasa setempat. Rapat dimaksudkan untuk membahas masalah keamanan sehubungan timbulnya huru-hara diberbagai tempat.
          Pertemuan itu hanya taktik Jepang belaka. Pada 23 Oktober 1943, raja-raja itu ditangkap dan ditahan di markas Kempeitai. Beberapa tokoh lainnya ikut diamankan. Berita penangkapan ini meluas dikalangan penduduk dan keraton. Namun, tidak seorang pun berani menanyakan kepada penguasa, yang tetap menunjukkan sikap bersahabat terhadap mereka.
          Penangkapan besar-besaran terjadi lagi pada 24 Mei 1944, saat berlangsung koferensi Nissinkai di Pontianak. Seluruh peserta sidang ditangkap. Tentara Jepang juga menciduk tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya, dengan mendatangi kediaman mereka pada dini hari. Begitulah, sampai kemudian surat kabar Borneo Sinbun terbitan 1 Juni 1944 membuat berita eksekusi mati para tawanan tersebut. Tidak seorang pun yang dapat bercerita, bagaimana jalanya pembunuhan massal itu sebab tidak seorang saksi pun dibiarkan hidup.
C. Iseki Dan Takahashi Bersaksi
          Satu buku berjudul Peristiwa Pembantaian Penduduk Borneo Barat: Pembuktian Peristiwa Pontianak (Juli 1987) ditulis Tsuneo Iseki. Ia pernah menetap di Kalimantan Barat pada 1928—1946 dan bisa berbahasa Indonesia. Pada 29 Januari 1942 pasukan Jepang mendarat di Kota Pontianak. Waktu itu, tulis Tsuneo Iseki dalam bukunya, kontrol administrasi Borneo (Kalimantan) di bawah Angkatan Darat (Rikugun) Jepang. Kemudian dialihkan ke tangan Angkatan Laut (Kaigun). Pontianak berada di bawah pemerintahan militer Pasukan ke-22 Kaigun, bermarkas besar di Balikpapan. Adalah Letnan satu Yoshiaki Uesugi yang menjadi komandan pasukan di Pontianak.
          Uesugi, 25 tahun, sangat patriotik dan punya disiplin tinggi. Maka setibanya di Pontianak, ia melakukan reformasi. Dibentuklah pasukan khusus istimewa, Tokkei Kaigun dipimpin Letnan Dua Yamamoto. Anggotanya 10 orang, ditambah empat (dua pribumi dan dua Tionghoa) informan yang diambil dari warga sipil setempat. Selain membentuk Tokkei, Uesugi mengeluarkan aturan baru: warga Jepang di Pontianak dilarang beristri dua. Jika mereka sudah telanjur punya gundik, misalnya, harap menyerahkannya kepada pasukan Jepang agar dijadikan wanita penghibur (jugun ianfu).
          Pada awal pendudukan Jepang, tulis Iseki, keadaan di Kota Pontianak dan masyarakatnya sangat damai. Tidak ada gerakan anti-Jepang. Tapi pada Juli 1943, terbongkar komplotan melawan Jepang di Banjarmasin. Otaknya adalah BJ Haga bekas Gubernur Belanda di Borneo. Tentara Jepang tak memberi ampun. Haga dan 800 orang yang dituduh terlibat gerakan itu dihabisi oleh Administrator Kaigun, Iwao Sasuga. Rupanya, berdasarkan informasi dari para informan Jepang, kelompok Banjarmasin itu telah menjalin hubungan dengan para aktifis di Pontianak. Tentu informasi dari Amir, seorang informan di Tokkei ini, membuat pihak Jepang marah. Menurut amir, Manajer Asahikan sebuah bioskop di Pontianak Ahmad Maidin, malah telah menyebarkan berita fitnah yang meresahkan. Misalnya, kota Surabaya dibom dan pasukan Jepang kalah perang terus. Kabar itu tersebar pada Juli sampai Agustus 1943.
          Atas informasi tersebut, beberapa hari kemudian Maidin ditangkap polisi khusus Kaigun. Setelah itu, Iseki yang bekerja pada Sumitomo Shokusan, didatangi Tokkei. Ia diminta mengikuti operasi militer menangkap orang-orang anti jepang. Terjaringlah sekitar 60 orang yang dituduh sebagai orang anti Dai Nippon.
          Beberapa hari kemudian Iseki diminta menjadi penerjemah dalam pemeriksaan. Di situlah ia bertemu Maidin. Maidin menduga dirinya dituduh punya kontak dengan komplotan Banjarmasin, padahal mendengar komplotan itu saja Maidin baru ketika itu. Tapi polisi khusus memaksanya harus mengaku. Lim seorang Tionghoa yang dikenal Iseki, juga diperlakukan sama. Untuk itu, Iseki berjanji memperjuangkan Lim semaksimal mungkin. Ternyata itulah pertemuan terakhir kalinya dengan Lim dan Maidin.
          Pada akhir Januari 1944 terjadi lagi penangkapan tahap II. Sekitar 120 orang yang ditangkap, antara lain tokoh-tokoh Singkawang. Sedangkan penangkapan tahap III terjadi pada Februari 1944, menimpa para ambtnaar dan kaum intelektual pada zamannya. Pada 28 Juni 1944 itulah saat yang menyeramkan warga Pontianak. Waktu itu, demikian Iseki dalam bukunya, dilakukan pengadilan kilat terhadap 48 tokoh. Hari itu pula, para perintis kemerdekaan itu divonis hukuman mati dan langsung ditembak saat itu. Tawanan yang lain, yang berjumlah sedikitnya 1.000 orang papar Iseki, dipancung dengan samurai tanpa diadili.
          Siapakah Takahashi? Ia bukan lain, mantan opsir Syuutizityo Minseibu yang pernah tinggal di Jalan Zainuddin Pontianak. Selain Takahashi, dalam rombongan itu terdapat beberapa orang lagi bekas Kaigun Minseibu yang pada hari tuanya telah menjadi pengusaha. Takahashi sendiri, pada tahun 1977 itu adalah Presiden Direktur perusahaan Marutaka House Kogyo Co Ltd.
          Data akurat tentang jumlah korban ini memang belum ada, namun untuk sementara data inilah yang dijadikan pegangan Pemprop Kalbar. Sedangkan satu-satunya dokumen tertulis yang ada di Kantor Arsip Pemprop Kalbar hanya selembar suratkabar Borneo Sinbun tersebut. Itu pun hanya halaman 1 dan 2 saja. Namun dari beberapa sumber yang pernah membaca berita tersebut selengkapnya, di halaman 3 suratkabar itu disebutkan bahwa jumlah korban seluruhnya sekitar 20.000 orang!
          Akhirnya Jepang jatuh dihajar Sekutu. Bergantian pula pihak Sekutu (dan Belanda) yang mengadili tentara Jepang. Kekalahan ini juga membuat Iseki yang pernah bergabung pada Rikugun Jepang di Kuching malaysia ditahan di sebuah kamp milik Australia. Pada 30 Januari 1946, tulisnya, ia dikirim ke Pontianak dengan naik pesawat amfibi Belanda. Dirinya dituduh sebagai kriminal Jepang. Ketika pesawat itu mampir di Kuching, ada sekitar 30-an bekas prajurit Kaigun yang senasib dengan Iseki untuk dikirim ke Pontianak. Di antara tawanan itu, ia bertemu dengan Seiichi Hirayama. Lalu Iseki bertanya apakah Hirayama juga membantai penduduk Pontianak. Ia menjawab ia ikut melakukannya. Soalnya, kata Hirayama kutip Iseki itu perintah militer Jepang. Mendengar itu Iseki menyarankan agar Hirayama mencabut ucapannya itu. Tapi ia tak mau. Alasannya pembunuhan itu atas perintah atasan.
          Tanpa terasa pesawat pun mendarat di Pontianak. Para tawanan perang disambut massa rakyat Pontianak dengan teriakan kebencian. Di hadapan pemeriksa pihak Belanda, Iseki mengatakan bahwa ia tidak pernah membunuh penduduk asli. Tak pernah pula menyiksa warga Pontianak. Ketika itu ia disuruh memeriksa mereka oleh atasan sebagai penerjemah. Menurutnya, peristiwa Pontianak itu tidak lain adalah sebuah kesalahan, memanfaatkan kekuasaan atas dasar kekuatan militer.
D. Pengadilan Militer Sekutu
          Perang Asia Timur Raya bukan perang membela diri Jepang. Tapi perang yang diciptakan oleh Jepang dengan tujuan menguasai sumber-sumber kekayaan alam di selatan. Borneo dikuasai lantaran lumbung minyak. Dan semua itu, menurut Iseki, tidak lebih dari ambisi prajurit profesional. Perang adalah dosa secara sempurna. Perang telah merebut kebebasan, hak hidup dan segalanya dari manusia.
          Awal Februari 1947, suara sirene meraung-raung di Kota Pontianak. Iseki dipanggil ke sebuah ruang kantor penjara Pontianak. Di situ terlihat seseorang berdiri memakai pakaian antipanas suhu udara. Dia adalah Letnan Jenderal Tadashige Daigo. Ia bernasib buruk. Ia tiba di Balikpapan Nopember 1943, sementara itu pembantaian Pontianak tahap I Oktober 1943.
          Tapi di persidangan, Daigo menolak membela diri. Sebagai pimpinan, ia bertanggung jawab terhadap ulah bawahannya. Sikap dan tindakannya ini membuat semua orang dalam penjara terharu, termasuk kepala penjara. Akhirnya, Daigo ditembak mati pada 6 Desember 1947. sementara itu Letnan Jenderal kamada dituduh bertanggung jawab atas peristiwa Pontianak tahap II, dan membunuh 110 orang Tionghoa. Selain itu ia juga dituduh bertanggung jawab atas gerakan anti Jepang oleh suku Dayak pada April 1945. waktu itu sejumlah pimpinan gerakan dibunuh tentara Jepang di pinggir Sungai kapuas. Sersan mayor Sano yang dituduh ikut terlibat menumpas gerakan anti Jepang itu juga divonis tembak mati. Dihadapan eksekutor Sano berteriak, Tenno Heika! Banzai! Banzai! Banzai! Kemudian ia berteriak lagi, tembaklah! Dan ia pun tewas.
          Dua belas tentara Belanda mengarahkan moncong senapannya ke dada Sano dari jarak lima meter. Ia ambruk di halaman penjara Pontianak. Empat hari sebelumnya, 10 Maret 1947, letnan Satu Soichi Yamamoto ditembak di situ. Bekas kepala polisi istimewa itu dituduh bertanggung jawab atas pembantaian penduduk Pontianak pada tahap I dan tahap II. Tercatat tentara Jepang yang ditembak mati mencapai 16 orang, sedangkan yang dihukum dua tahun penjara hingga seumur hidup mencapai 18 orang prajurit. Termasuk Iseki dan Hayashi.
          Oktober sampai Nopember 1947, masa persidangan Mahkamah Militer Sekutu di Pontianak. Ada 16 tentara Jepang yang dituduh sebagai penjahat perang karena membantai ribuan orang di Kalimantan Barat. Semangat balas dendam atas kekejaman mereka memang menggelora. Tapi menyerahkan persoalan kepada mahkamah militer yang berkuasa adalah lebih arif dan proporsional. Sidang mahkamah militer itu dipimpin Mr Kan Presiden Landraad Militer Borneo Barat sebagai ketua, van Kessel Hoofd Landraad Pontianak sebagai anggota, Mr Jonge Nielen dan Mr Alling masing-masing sebagai oditur.
          Ke-16 tahanan itu di antaranya adalah Coju (Letnan jenderal) Daigo Panglima Tentara Kaigun wilayah Kalimantan yang bermarkas di Balikpapan dan Cujo kamada Komandan Tempur di Balikpapan. Selain itu ada 11 perwira yaitu S Yamamoto, S Sano, S Hirayama, Y Ishiyama, Y Yamamoyo, Y Yoshio, T Tsurumi, K Kuse, B Unno dan G Kojima. Dalam persidangan mereka terbukti bersalah dan dihukum mati dengan cara ditembak. Yamamoto misalnya, mengaku bahwa pembunuhan masal terhadap ribuan rakyat itu dilakukan heitasan (tentara pendudukan Jepang) di beberapa tempat, antara lain Mandor, Sungai Durian, Jalan Kapitan, Markas Kempeitai, Kebon Sayok dan penjara Sungai Jawi. Target pembunuhan adalah 50.000 rakyat. Tapi sebelum itu terlaksana, Jepang keburu kalah.
          Sebelum ditembak mati, Yamamoto kepada Ketua Landraad mengajukan tiga permohonan. Dan kemlaknya ketiga permohonan itu dikabulkan, masing-masing ia menyanyikan lagu kebangsaan Dai Nippon Kimigayo, menyerukan banzai sebanyak tiga kali untuk keselamatan Tenno Heika dan Dai Nippon serta dalam menjalani hukuman tembak mati ia menolak ditutup matanya. Hukuman atas Yamamoto dan empat tentara Jepang dilakukan di Sekip Militer Pontianak. Waktu itu Yamamoto berpakaian dinas tentara Jepang tanpa tanda pangkat, ia bersepatu bot. belakangan sepatu laras tinggi itu ditemukan saat penggalian pembangunan kompleks Pemprop-waktu itu Pemda-Kalbar pada 1961.
          Setelah lebih dari 40 tahun jenazah penjahat perang itu terkubur, Nopember 1987 ke-16 kerangkanya kemudian diperabukan. Dan abu mereka dimasukkan ke dalam dua guci kecil yang dibungkus dengan kain kuning, lalu diikatkan pada dada Masco. Dua guci itu tetap menempel terus sejak dari Pontianak sampai ke lapangan terbang Narita Tokyo Jepang. Kedatangan abu jenazah itu disambut dengan upacara militer. Kini abu jenazah para pembantai rakyat Kalbar itu disimpan di satu kuil terbesar di Jepang, menjadi saksi sejarah. Hitam atau putih, salah atau benar, tergantung kacamata tiap-tiap orang yang memandangnya.
          Lantas, betulkah orang Kalimantan Barat yang dibantai Jepang lebih dari 21.000 orang seperti diungkapkan Kiyotada Takahashi seorang mantan opsir Syuutizityo Minseibu kepada wartawan di Pontianak 1977? Seakan membantahnya, Iseki mengatakan bahwa angka itu tidak benar. Dia sendiri menurut pengakuannya pernah mendengar langsung dari Letnan Dua Kaigun Soichi Yamamoto bahwa jumlah korban pembunuhan masal di Pontianak adalah 1.486 orang. Terlepas dari pendapat itu semua rekayasa atau tidak, yang pasti di masa Perang Dunia II, terlebih di Mandor, sedikitnya 1.000 rakyat Kalimantan Barat telah dikorbankan balatentara Dai Nippon yang mengaku dirinya sebagai Saudara Tua, dan mereka telah telanjur tewas hanya untuk memenuhi ambisi 14 perwira muda yang ingin mencari nama. Mereka tega mencari kesempatan dengan memakan orang dan bangsa lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar