A. Zaman Cap Kapak
Jumlah 21.037 korban kekejian Jepang
adalah angka resmi dari pemerintah Provinsi Barat (1977) yang konontelah
dicocokan dengan angka yang tercatat pada dokumen perang Jepang di Tokyo. Para
korban diduga dipancung hidup-hidup dengan samurai setelah kepalanya ditutupi
dengan sangkup. Setidaknya, ini terbukti dengan ditemukan banyaknya samurai
patah dan batu asahan beserakan di sekitar tempat pembantaian massal itu.
Peristiwa pembantaian iu tidak banyak
diketahui penduduk. Warga mengira pimpinan feodal lokal itu diasingkan ke luar
daerahnya seperti kebiasaan yang
dilakukan Belanda. Tapi ketika ada rakyat yang melihat dengan mata kepala
sendiri bagaimana serdadu Jepang memenggal korbannya, barulah mereka bahwa Dai
Nippon jauh lebih kejam.
Zaman pendudukan Jepang merupakan
suatu masa yang diselimuti oleh kelaparan, derita, kemiskinan, ketakuatan, air
mata, dan darah. Masa suram semacam itu ternyata tidak terjadi di Pulau Jawa,
tetapi melanda hampir seluruh penjuru tanah air. Sebagai bukti pembantaian
besar-besaran di Kalimantan Barat pada tahun 1942-1944. Memang sangat tragis,
dan tentu saja memilukan. Dalam keadaan perang tempo dulu, Perang Dunia II,
bangsa Indonesia telah dihela dalam garis penderitaan yang tidak terperkirakan.
Berdasarkan peristiwa tersebut maka bisa diambil pelajaran bahwa sebab dari
semua sebab penderitaan Bangsa Indonesia adalah peperangan.
Jepang masuk Pontianak pada 19
Desember 1941. Pesawat tempurnya berderu-deru mengagetkan masyarakat yang
shalat Jum’at. Mereka berlari menyambut kedatangan ‘Saudara Tua’ dengan
lambaian tangan. Ternyata kesembilan pesawat itu menjatuhkan bom. Bumi
Pontianak merekah, nyawa mereka meregang. Korban bergelimpangan. Kampung Bali,
Parit Besar, dan jajaran Kampung Melayu porak poranda. Hanya butuh waktu
delapan hari, balatentara udara Jepang menguasai Pangkalan Udara Singkawang II
yan dibangun Belanda. Sementara itu armada Angkatan Laut Dai Nippon mendarat di
Pemangkat, Singkawang, dan Ketapang. Pendaratan besar ini terjadi pada 22
Januari 1942. Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Namun, sebelum itu
berjalan, Sambas, Mempawah, dan Ngabang dibumihanguskan Belanda. Belanda tidak
rela hartanya dirampas Jepang.
Ternyata pendaratan Jepang sama saja
dengan penindasan. Banyak wanita atau gadis, terutama masyarakat Tionghoa,
memilih bunuh diri ketimbang dijadikan pemuas nafsu. Bahkan, perampokan dan
penganiayaan nyaris jadi pemandangan sehari-hari. Sasaran utama pemburu harta adalah toko dan gudang milik penduduk
Tionghoa. Apabila kendaraan pengangkut karung-karung beras dari toko
jarahannya, masyarakat ikut menjarah. Kelaparan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan.
Zaman ini
terkenal dengan sebutan Zaman Cap Kapak. Serdadu Jepang mendobrak pintu-pintu
dengan senjata kapak. Makin hari penghidupan rakyat kian tertekan. Maka timbul
reaksi dari kalangan istana dan kaum pergerakan untuk bangkit mengadakan
perlawanan. Pada waktu itu, di Kalimantan Barat terdapat 13 perkumpulan yang
berpengaruh. Di antaranya yang menonjol adalah Pemuda Muhammadiyah, Surya
Wirawan, dan Persatuan Anak Borneo. Namun, ke-13 badan tadi segera dibubarkan
Jepang, dan melarang segala kegiatan perkumpulan dalam bentuk apapun.
B. Peristiwa Penyungkupan
Para
pemuda pergerakan yang dipelopori Noto Soedjono (Raden Pandji Mohammad Dzubier
Noto Soedjono) dan dr. Roebini tidak kehilangan akal, mereka membentuk
organisasi yang pura-pura memihak Jepang. Wadah bernama Nissinkai ini di restui
Syuutizityo Minseibu Izumi dan disetujui pula oleh Komandan Teritorial Angkatan
Laut Letnan Kolonel Yamakawa dan para perwira senior kempeitai, serupa Kapten
Yamamoto, Letnan Nakatani, dan Letnan Hayashi.
Agaknya melalui Nissinkai Jepang
mengharapkan bisa mengaruhi pemuda masyarakat dan para pengusaha untuk
sewaktu-waktu dimanfaatkan dan dipersenjatai. Namun kemudian, pemerintah
pendudukan itu mensinyalemen kalau Nissinkai telah ditunggangi gerakan bawah
tanah yang bertujuan akan mendirikan negara Rakyat Borneo Barat. Gerakan itu
sebenarnya memang ada, dan semboyan pergerakannya memakai sandi bernama Dum
Spiro-spiro, yang artinya bergerak selagi bernapas.
Beberapa tokoh pergerakan dan bekas
pimpinan perkumpula yang dibubarkan Jepang diam-diam mengadakan perundingan
rahasia. Mereka rupanya memanfaatkan Nissinkai. Gerakan bawah tanah ini, selain
membonceng fasilitas Nissinkai, juga bermaksud memengaruhi para pejabat,
pengusaha da tokoh masyarakat. Gerakan ini juga didanai oleh sejumlah pengusaha
dan hartawan Tionghoa, diantaranya Ng Nyiap Sun yang belakangan ditunjuk
sebagai bendahara pergerakan. Pelopor gerakan bawah tanah ini berjumlah 69
orang.
Ketika Nissinkai telah terbentu, dari
Banjarmasin datang Noomu Kakarityo Makaliwey bersama Kan Satukan dr. Soesilo,
yang memberitahukan bahwa pemberontakan rakyat Banjarmasin yang dipimpin bekas
Gubernur Borneo Haga tengah berkobar. Haga, cerita mereka, tertangkap da dipenggal lehernya
ditiang gantungan. Peristiwa ini kemudian membakar semangat pemuda dan pemuka
masyarakat di Kalimantan Barat untuk segera melakukan pemberontakan. Sejak itu
mulailah terjadi huru-hara di berbagai tempat. Para pemuda yang tadinya dilatih
dalam seinendan, keibodan, dan heiho, berbalik melawan pendudukan Dai Nippon.
Buntutnya, pada 14 April 1943, Syuutizityo mengadakan rapat kerja pertama
Nissinkai. Rapat dihadiri 12 penguasa otonom feodal lokal (dua sultan dan
sepuluh panembahan) serta segenap pejabat tinggi da penguasa setempat. Rapat
dimaksudkan untuk membahas masalah keamanan sehubungan timbulnya huru-hara
diberbagai tempat.
Pertemuan itu hanya taktik Jepang
belaka. Pada 23 Oktober 1943, raja-raja itu ditangkap dan ditahan di markas
Kempeitai. Beberapa tokoh lainnya ikut diamankan. Berita penangkapan ini meluas
dikalangan penduduk dan keraton. Namun, tidak seorang pun berani menanyakan
kepada penguasa, yang tetap menunjukkan sikap bersahabat terhadap mereka.
Penangkapan
besar-besaran terjadi lagi pada 24 Mei 1944, saat berlangsung koferensi
Nissinkai di Pontianak. Seluruh peserta sidang ditangkap. Tentara Jepang juga
menciduk tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya, dengan mendatangi kediaman mereka
pada dini hari. Begitulah, sampai kemudian surat kabar Borneo Sinbun terbitan 1
Juni 1944 membuat berita eksekusi mati para tawanan tersebut. Tidak seorang pun
yang dapat bercerita, bagaimana jalanya pembunuhan massal itu sebab tidak
seorang saksi pun dibiarkan hidup.
C. Iseki Dan Takahashi Bersaksi
Satu buku berjudul Peristiwa
Pembantaian Penduduk Borneo Barat: Pembuktian Peristiwa Pontianak (Juli 1987)
ditulis Tsuneo Iseki. Ia pernah menetap di Kalimantan Barat pada 1928—1946 dan
bisa berbahasa Indonesia. Pada 29 Januari 1942 pasukan Jepang mendarat di Kota
Pontianak. Waktu itu, tulis Tsuneo Iseki dalam bukunya, kontrol administrasi
Borneo (Kalimantan) di bawah Angkatan Darat (Rikugun) Jepang. Kemudian
dialihkan ke tangan Angkatan Laut (Kaigun). Pontianak berada di bawah
pemerintahan militer Pasukan ke-22 Kaigun, bermarkas besar di Balikpapan.
Adalah Letnan satu Yoshiaki Uesugi yang menjadi komandan pasukan di Pontianak.
Uesugi, 25 tahun, sangat patriotik dan
punya disiplin tinggi. Maka setibanya di Pontianak, ia melakukan reformasi.
Dibentuklah pasukan khusus istimewa, Tokkei Kaigun dipimpin Letnan Dua
Yamamoto. Anggotanya 10 orang, ditambah empat (dua pribumi dan dua Tionghoa)
informan yang diambil dari warga sipil setempat. Selain membentuk Tokkei,
Uesugi mengeluarkan aturan baru: warga Jepang di Pontianak dilarang beristri
dua. Jika mereka sudah telanjur punya gundik, misalnya, harap menyerahkannya
kepada pasukan Jepang agar dijadikan wanita penghibur (jugun ianfu).
Pada awal pendudukan Jepang, tulis
Iseki, keadaan di Kota Pontianak dan masyarakatnya sangat damai. Tidak ada
gerakan anti-Jepang. Tapi pada Juli 1943, terbongkar komplotan melawan Jepang
di Banjarmasin. Otaknya adalah BJ Haga bekas Gubernur Belanda di Borneo.
Tentara Jepang tak memberi ampun. Haga dan 800 orang yang dituduh terlibat
gerakan itu dihabisi oleh Administrator Kaigun, Iwao Sasuga. Rupanya,
berdasarkan informasi dari para informan Jepang, kelompok Banjarmasin itu telah
menjalin hubungan dengan para aktifis di Pontianak. Tentu informasi dari Amir,
seorang informan di Tokkei ini, membuat pihak Jepang marah. Menurut amir,
Manajer Asahikan sebuah bioskop di Pontianak Ahmad Maidin, malah telah
menyebarkan berita fitnah yang meresahkan. Misalnya, kota Surabaya dibom dan
pasukan Jepang kalah perang terus. Kabar itu tersebar pada Juli sampai Agustus
1943.
Atas informasi tersebut, beberapa hari
kemudian Maidin ditangkap polisi khusus Kaigun. Setelah itu, Iseki yang bekerja
pada Sumitomo Shokusan, didatangi Tokkei. Ia diminta mengikuti operasi militer
menangkap orang-orang anti jepang. Terjaringlah sekitar 60 orang yang dituduh
sebagai orang anti Dai Nippon.
Beberapa hari kemudian Iseki diminta
menjadi penerjemah dalam pemeriksaan. Di situlah ia bertemu Maidin. Maidin
menduga dirinya dituduh punya kontak dengan komplotan Banjarmasin, padahal
mendengar komplotan itu saja Maidin baru ketika itu. Tapi polisi khusus
memaksanya harus mengaku. Lim seorang Tionghoa yang dikenal Iseki, juga
diperlakukan sama. Untuk itu, Iseki berjanji memperjuangkan Lim semaksimal
mungkin. Ternyata itulah pertemuan terakhir kalinya dengan Lim dan Maidin.
Pada akhir Januari 1944 terjadi lagi
penangkapan tahap II. Sekitar 120 orang yang ditangkap, antara lain tokoh-tokoh
Singkawang. Sedangkan penangkapan tahap III terjadi pada Februari 1944, menimpa
para ambtnaar dan kaum intelektual pada zamannya. Pada 28 Juni 1944 itulah saat
yang menyeramkan warga Pontianak. Waktu itu, demikian Iseki dalam bukunya,
dilakukan pengadilan kilat terhadap 48 tokoh. Hari itu pula, para perintis
kemerdekaan itu divonis hukuman mati dan langsung ditembak saat itu. Tawanan
yang lain, yang berjumlah sedikitnya 1.000 orang papar Iseki, dipancung dengan
samurai tanpa diadili.
Siapakah Takahashi? Ia bukan lain,
mantan opsir Syuutizityo Minseibu yang pernah tinggal di Jalan Zainuddin
Pontianak. Selain Takahashi, dalam rombongan itu terdapat beberapa orang lagi
bekas Kaigun Minseibu yang pada hari tuanya telah menjadi pengusaha. Takahashi
sendiri, pada tahun 1977 itu adalah Presiden Direktur perusahaan Marutaka House
Kogyo Co Ltd.
Data akurat tentang jumlah korban ini
memang belum ada, namun untuk sementara data inilah yang dijadikan pegangan
Pemprop Kalbar. Sedangkan satu-satunya dokumen tertulis yang ada di Kantor
Arsip Pemprop Kalbar hanya selembar suratkabar Borneo Sinbun tersebut. Itu pun
hanya halaman 1 dan 2 saja. Namun dari beberapa sumber yang pernah membaca
berita tersebut selengkapnya, di halaman 3 suratkabar itu disebutkan bahwa
jumlah korban seluruhnya sekitar 20.000 orang!
Akhirnya Jepang jatuh dihajar Sekutu.
Bergantian pula pihak Sekutu (dan Belanda) yang mengadili tentara Jepang.
Kekalahan ini juga membuat Iseki yang pernah bergabung pada Rikugun Jepang di
Kuching malaysia ditahan di sebuah kamp milik Australia. Pada 30 Januari 1946,
tulisnya, ia dikirim ke Pontianak dengan naik pesawat amfibi Belanda. Dirinya
dituduh sebagai kriminal Jepang. Ketika pesawat itu mampir di Kuching, ada
sekitar 30-an bekas prajurit Kaigun yang senasib dengan Iseki untuk dikirim ke
Pontianak. Di antara tawanan itu, ia bertemu dengan Seiichi Hirayama. Lalu
Iseki bertanya apakah Hirayama juga membantai penduduk Pontianak. Ia menjawab
ia ikut melakukannya. Soalnya, kata Hirayama kutip Iseki itu perintah militer
Jepang. Mendengar itu Iseki menyarankan agar Hirayama mencabut ucapannya itu.
Tapi ia tak mau. Alasannya pembunuhan itu atas perintah atasan.
Tanpa terasa pesawat
pun mendarat di Pontianak. Para tawanan perang disambut massa rakyat Pontianak
dengan teriakan kebencian. Di hadapan pemeriksa pihak Belanda, Iseki mengatakan
bahwa ia tidak pernah membunuh penduduk asli. Tak pernah pula menyiksa warga
Pontianak. Ketika itu ia disuruh memeriksa mereka oleh atasan sebagai
penerjemah. Menurutnya, peristiwa Pontianak itu tidak lain adalah sebuah
kesalahan, memanfaatkan kekuasaan atas dasar kekuatan militer.
D. Pengadilan Militer Sekutu
Perang Asia Timur Raya bukan perang
membela diri Jepang. Tapi perang yang diciptakan oleh Jepang dengan tujuan
menguasai sumber-sumber kekayaan alam di selatan. Borneo dikuasai lantaran
lumbung minyak. Dan semua itu, menurut Iseki, tidak lebih dari ambisi prajurit
profesional. Perang adalah dosa secara sempurna. Perang telah merebut
kebebasan, hak hidup dan segalanya dari manusia.
Awal Februari 1947, suara sirene
meraung-raung di Kota Pontianak. Iseki dipanggil ke sebuah ruang kantor penjara
Pontianak. Di situ terlihat seseorang berdiri memakai pakaian antipanas suhu
udara. Dia adalah Letnan Jenderal Tadashige Daigo. Ia bernasib buruk. Ia tiba
di Balikpapan Nopember 1943, sementara itu pembantaian Pontianak tahap I
Oktober 1943.
Tapi di persidangan, Daigo menolak
membela diri. Sebagai pimpinan, ia bertanggung jawab terhadap ulah bawahannya.
Sikap dan tindakannya ini membuat semua orang dalam penjara terharu, termasuk
kepala penjara. Akhirnya, Daigo ditembak mati pada 6 Desember 1947. sementara
itu Letnan Jenderal kamada dituduh bertanggung jawab atas peristiwa Pontianak
tahap II, dan membunuh 110 orang Tionghoa. Selain itu ia juga dituduh
bertanggung jawab atas gerakan anti Jepang oleh suku Dayak pada April 1945.
waktu itu sejumlah pimpinan gerakan dibunuh tentara Jepang di pinggir Sungai kapuas.
Sersan mayor Sano yang dituduh ikut terlibat menumpas gerakan anti Jepang itu
juga divonis tembak mati. Dihadapan eksekutor Sano berteriak, Tenno Heika!
Banzai! Banzai! Banzai! Kemudian ia berteriak lagi, tembaklah! Dan ia pun
tewas.
Dua belas tentara Belanda mengarahkan
moncong senapannya ke dada Sano dari jarak lima meter. Ia ambruk di halaman
penjara Pontianak. Empat hari sebelumnya, 10 Maret 1947, letnan Satu Soichi
Yamamoto ditembak di situ. Bekas kepala polisi istimewa itu dituduh bertanggung
jawab atas pembantaian penduduk Pontianak pada tahap I dan tahap II. Tercatat
tentara Jepang yang ditembak mati mencapai 16 orang, sedangkan yang dihukum dua
tahun penjara hingga seumur hidup mencapai 18 orang prajurit. Termasuk Iseki
dan Hayashi.
Oktober sampai Nopember 1947, masa
persidangan Mahkamah Militer Sekutu di Pontianak. Ada 16 tentara Jepang yang
dituduh sebagai penjahat perang karena membantai ribuan orang di Kalimantan
Barat. Semangat balas dendam atas kekejaman mereka memang menggelora. Tapi
menyerahkan persoalan kepada mahkamah militer yang berkuasa adalah lebih arif
dan proporsional. Sidang mahkamah militer itu dipimpin Mr Kan Presiden Landraad
Militer Borneo Barat sebagai ketua, van Kessel Hoofd Landraad Pontianak sebagai
anggota, Mr Jonge Nielen dan Mr Alling masing-masing sebagai oditur.
Ke-16 tahanan itu di antaranya adalah
Coju (Letnan jenderal) Daigo Panglima Tentara Kaigun wilayah Kalimantan yang
bermarkas di Balikpapan dan Cujo kamada Komandan Tempur di Balikpapan. Selain
itu ada 11 perwira yaitu S Yamamoto, S Sano, S Hirayama, Y Ishiyama, Y
Yamamoyo, Y Yoshio, T Tsurumi, K Kuse, B Unno dan G Kojima. Dalam persidangan
mereka terbukti bersalah dan dihukum mati dengan cara ditembak. Yamamoto
misalnya, mengaku bahwa pembunuhan masal terhadap ribuan rakyat itu dilakukan
heitasan (tentara pendudukan Jepang) di beberapa tempat, antara lain Mandor,
Sungai Durian, Jalan Kapitan, Markas Kempeitai, Kebon Sayok dan penjara Sungai
Jawi. Target pembunuhan adalah 50.000 rakyat. Tapi sebelum itu terlaksana,
Jepang keburu kalah.
Sebelum ditembak mati, Yamamoto kepada
Ketua Landraad mengajukan tiga permohonan. Dan kemlaknya ketiga permohonan itu
dikabulkan, masing-masing ia menyanyikan lagu kebangsaan Dai Nippon Kimigayo,
menyerukan banzai sebanyak tiga kali untuk keselamatan Tenno Heika dan Dai
Nippon serta dalam menjalani hukuman tembak mati ia menolak ditutup matanya.
Hukuman atas Yamamoto dan empat tentara Jepang dilakukan di Sekip Militer
Pontianak. Waktu itu Yamamoto berpakaian dinas tentara Jepang tanpa tanda
pangkat, ia bersepatu bot. belakangan sepatu laras tinggi itu ditemukan saat
penggalian pembangunan kompleks Pemprop-waktu itu Pemda-Kalbar pada 1961.
Setelah lebih dari 40 tahun jenazah
penjahat perang itu terkubur, Nopember 1987 ke-16 kerangkanya kemudian
diperabukan. Dan abu mereka dimasukkan ke dalam dua guci kecil yang dibungkus
dengan kain kuning, lalu diikatkan pada dada Masco. Dua guci itu tetap menempel
terus sejak dari Pontianak sampai ke lapangan terbang Narita Tokyo Jepang.
Kedatangan abu jenazah itu disambut dengan upacara militer. Kini abu jenazah
para pembantai rakyat Kalbar itu disimpan di satu kuil terbesar di Jepang,
menjadi saksi sejarah. Hitam atau putih, salah atau benar, tergantung kacamata
tiap-tiap orang yang memandangnya.
Lantas, betulkah orang Kalimantan
Barat yang dibantai Jepang lebih dari 21.000 orang seperti diungkapkan Kiyotada
Takahashi seorang mantan opsir Syuutizityo Minseibu kepada wartawan di
Pontianak 1977? Seakan membantahnya, Iseki mengatakan bahwa angka itu tidak
benar. Dia sendiri menurut pengakuannya pernah mendengar langsung dari Letnan
Dua Kaigun Soichi Yamamoto bahwa jumlah korban pembunuhan masal di Pontianak
adalah 1.486 orang. Terlepas dari pendapat itu semua rekayasa atau tidak, yang
pasti di masa Perang Dunia II, terlebih di Mandor, sedikitnya 1.000 rakyat
Kalimantan Barat telah dikorbankan balatentara Dai Nippon yang mengaku dirinya
sebagai Saudara Tua, dan mereka telah telanjur tewas hanya untuk memenuhi
ambisi 14 perwira muda yang ingin mencari nama. Mereka tega mencari kesempatan
dengan memakan orang dan bangsa lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar