Minggu, 06 Juli 2014

Kerajaan Pontianak



Kerajaan Pontianak

A. Pemerintahan Kesultanan Pontianak
          Sekitar Tahun 1733 Syaif Hussein Bin Ahmed Alkadrie seorang ulama datang dari Kerajaan Matan untuk mengajar agama Islam. Di sini Syarif Hussein dianggap sebagai seorang wali oleh rakyat Matan. Oleh raja Matan, Syarif Hussein kemudian diangkat sebagai penasehat raja. Tetapi jabatan ini tidak lama dipangkunya, karena adanya perselisihan pendapat mengenai penjatuhan hukuman mati oleh raja terhadap seorang nakhoda tidak disetujui Syarif Hussein.
          Perbedaan pendapat ini mengakibatkan Syarif Hussein pindah darim Matan ke Kerajaan Mempawah. Didaerah yang terakhir ini Syarif Hussein diangkat sebagai Patih dari raja Opu Daeng Menambon. Sebelum perpisahan ini selama Syarif Hussein menjabat sebagai penasehat raja Matan, ia menikah dengan Nyai Tua dan dari perkawinan ini mendapat anak sebanyak lima orang, diantaranya adalah, Syarif Abdurrachman yang dilahirkan pada tahun 1742.
          Dalam usia 22 tahun cita-cita maritimnya membuat Abdurrachman berlayar meninggalkan Mempawah, menuju Tambelan, Riau, dan kemudian ke Palembang. Dalam perlawatan ini Abdurrachman disertai oleh penasehat dagangnya yag bernama Daud. Dari Palembang kembali lagi ke Mempawah tetapi tidak lama, melanjutkan kembali pelayarannya ke Banjarmasin.
          Kedatangan Syaraif Abdurrachman ke Banjarmasin di sekitar tahun 1768, adalah saa yang memungkinkan ia mendapatkan banyak pelajaran yang dipersiapkandalam pembangunan kesultanan Pontianak nantinya. Banjarmasin pada tahun 1768 merupakan sebuah bandar perdagangan yang menggantikan peranan Kerajaan Makassar yang telah lumpuh sejak tahun 1669 melalui Perjanjian Bongaya.
          Situasi konfrontasi langsung yang dilihat dan turut dirasakan selama di Banjarmasin, membekali Syarif Abdurrachman dan menempa semangatnya semakin berkembang. Kemajuan yang didapatkan dari hasil perniagaan digunakan untuk mempersenjatai armada dagangnya. Kekuatan armada yang dibentuk itu mendapatkan pengalaman Perang Laut yang cukup besar, dimana berhasil menenggelamkan kapal-kapal perang milik Belanda di Pulau Bangka, Inggris, dan Prancis di Pasir.
          Abdurrachman pada tahun 1770 meninggalkan Banjarmasin ke Mempawah karena ayahnya, Syarif Hussein wafat. Setahun setelah wafatnya itu, Abdurrachman membuka lembaran sejarahnya sebagai seorang pemimpin yang memegang pucuk pimpinan dalam sebuah pemerintah baru yang didirikannya.
          Bertolaknya Abdurrachman dari Mempawah ke daerah yang tengah dicarinya adalah pada tanggal 23 Nopember 1771 dengan 16 kapal dengan awak kapal yang terjadi dari rakyat negeri Mempawah sebagai pengkutnya. Arah pelayaran itu berhenti setelah ditemukannya sebuah pulau yang terletak di pertemuan muara Sungai Landak dan Sungai Kapuas. Di pulau yang disangka oleh para awak kapal dipenuhi Hantu Puntianak itulah kemudia dibangun pusat pemerintahan baru di Kalimantan Barat. Tercatat sebagai kesultanan terakhir yang didirikan di daerah ini.
          Abdurrachman mulanya menemui sedikit kesulitan untuk meyakinkan awak kapalnya yang kurang begitu berani turun ke pulau yang dipilihnya itu. Untuk itu Abdurrachman memrintahkan agar menembaki dengan meriam kapalnya yang ditujukan ke Pulau Hantu Puntianak. Selanjutnya Abdurrachman memulai untuk turun menambat hutan belantara di pulau itu dan dalam perkembangan berikutnya mendirikan pusat pemerintahan di atas pulau ini yag dinamakan Kesultanan Pontianak.
          Jacob Ozinga menafsirkan pendapat sejarawan SCHRIEKE yang menjelaskan bahwa hari jadi Pontianak jatuh pada tanggal 1 Ramadhan 1185 atau 7 Januari 1772 dan pendapat ini diperkuat pula ole PJ Veth.
          Perkembangan kesultanan Pontianak mengalami hambatan di bidag perniagaan di masa perkembangan pesat yang dialami Sukadana yang pada ketika itu merupakan bandar perdagangan yang sejajar dengan Banjarmasin. Untuk mengalahkan saingannya ini, Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie, melancarkan penyerangan terhadap kerajaan Sukadana dalam tahun 1789. Dalam peperangan ini, Belanda ikut andil memberikan bantuannya pada Pontianak. Akibat dari serangan ini, Sukadana dapat dilumpuhkan.
          Di samping itu terjadi pula penyerangan Pontianak ke Mempawah yang saat itu diperintahkan Gusti Djamiril Panembahan Adijaya Kusuma Jaya. Setelah bertahan habis-habisan, pada akhirnya Mempawah dapat ditundukan. Tak sudi negerinya di kuasai Belanda yang banyak membantu Pontianak, Panembahan Adijaya menyingkir ke Karangan. Vakum kekuasaan atas Mempawah kemudian diisi oleh Syarif Kasim Alkadri dan Mempawah dijadikan negeri taklukan Pontianak.
          Dengan jatuhnya dua kerajaan, Sukadana dan Mempawah ke tangan Pontianak, maka pusat perdagangan bertumpu di Pontianak, sehingga menjadi kesultanan yang mamkmur di bidang perekonomian ketika itu. Tahun 1808 Abdurrachman wafat, ia kemudian digantikan Syarif Kasim Akadri salah seorang putranya dari istrinya Utin Tjindramidi yang merupakan anak raja Mempawah sendiri sebelumnya, yaitu Opu Daeng Menambon. Sebenarnya yang menggantikan Abdurrachma adalah putra mahkota yaitu Pangeran Ratu Syarif Osman Alkadrie, namun pada ketika itu masih belum dewasa.
          Dengan adanya pengangkatan Syarif Kasim menjadi Sultan Pontianak, maka kekuasaannya atas Mempawah diserahkan kepada Gusti Djati Putra Adijaya Kusuma Jaya, Pontianak di masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim menghadapi tiga hal yang sukar dipecahkan, yakni masalah Bajak Laut, Pemberontakan Sambas dan Cina. Untuk mengatasi masalah itu ia kemudian meminta bantuan kepada Inggris pada tahun 1814. Komisaris Jendral kemudian mengambil alih pemerintahan atas dasar Traktat London.
          Perkembangan kemudian , delegasi Belanda datang ke Pontianak untuk memaksa sultan mendatangani kontrak perjanjian yang sangat merugikan kesultanan Pontianak. Namun demikian, sultan terpaksa harus menyerahkan daerah taklukkannya yaitu Tayan dan Matan.
          Setelah berhasil memaksa sultan sebagai penguasa Pontianak, maka Belanda melancarkan penyerangan ke Matan yang bertahan menentang penyerangan kerajaannya itu. Belanda mendapat bentuan dari Kerajaan Siak Sri Indrapura yang dipimpin seorang bangsawannya yang bernama Tengku Akil. Akhirnya daerah tersebut dapat ditundukkan, bahkan kemudian Tengku Akil dengan leluasa mendudukinya tahta sebagai raja di sini.
          Salah satu administrasi modern dari Belanda adalah gajinya para raja di Nusantara dan mereka ditempatkan sebagai pegawai administrasi pemerintahan Belanda. Saat pemerintahan Sultan Syarif Osman Alkadrie kembali disodorkan perjanjian, dimana Belanda kembali memaksa Pontianak untuk menyetujui perjanjian yang isinya menyatakan bahwa pemerintah Belanda bersama-sama sultan memerintah kesultanan Pontianak. Pada penghasilan kesultanan dibagi dua dengan memperoleh gaji dari pemerintah Belanda. Keadaan yang demikian berjalan terus selama masa pemerintahan Syarif Osman tahun 1822-1855.
          Setelah imperialis Belanda berhaisl menyehatkan keuangannya dari hasil Culture System atau Tanam Paksa, dapat memaksa Sultan Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872) untuk menandangani perjanjian yang menetapkan bahwa Sultan diberikan gaji pertahunnya dan kekuasaan peradilan dan kepolisian di dalam lingkungan kesultanan, sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah Belanda.
          Tindakan ini diperkuatkan oleh pemerintahan Belanda adalah untuk mengikat lebih erat Pontianak khususnya di dalam wilayah kekuasaannya, karena saat itu tengah ada ancaman meluasnya pengaruh Inggris melalui James Brooke yag menanamkan kekuasaannya di Serawak.
          Selanjutnya, dengan tampilnya Syarif Yusuf Alkadrie sebagai sultan 1872-1895, sudah tidak memungkinkan pula untuk menghindari cengkeraman Belanda atas Kesultanan Pontianak. Terlebih saat itu telah dikeluarkannya Undang-Undang Bumi 1870, di mana Belanda memberikan izin kepada kaum kapasitas untuk menginvestasikan modalnya ke Nusantara, termasuklah Pontianak. Dengan sendirinya, sultan telah kehilangan kekuasaan politik dan otonom kesultanannya. Dalam menentukan pajak harus tunduk kepada aturan pemerintahan  Belanda dan acara nyata, fungsi sultan haya sebagai pengontrol saja.
          Sejak ditandatangani perjanjian 5 Juli 1779 di masa awal pemerintahan kesultanan Pontianak di bawah sultan Abdurrachman, kesultanan Pontianak (hingga hapusnya sistem pemrintahan kesultanan nantinya) tidak memungkinkan untuk mengadakan perlawanan bersenjata terhadap Belanda sebagai mana yang dilakukan di kerajaan lain yang memberontak.
          Kemudian Sultan Syarif Mohammad Alkadrie menduduki tahta pemerintahan ayahya sejak 1895, ternyata juga mewarisi sisa kekuasaan yang diberikan oleh Belanda. Sultan tak luput untuk menerima perjanjian yang disodorkan oleh Belanda dengan adanya perjanjian pada tanggal 23 Juni1911 dan direalisir tanggal 18 Januari 1912 berdasarka Besluit Gubernur Nomor 44 Junto 26 Maret 1912 Nomor 23 yang isinya menggariskan bahwa pemerintah Belanda ikut secara aktif menentukan personil pegawai kesultanan, berlakunya hukum perdata dan pidana dan dengan sendirinya hukum adat dan hukum Islam di kesultanan dihapuskan, serta seluruh pegawai kesultanan diberika gaji oleh pemerintah Belanda.
          Praktis dengan adanya kontrak perjanjian baru ini pemerintah Belanda berhasil menjadikan lingkungan bangsawan kesultanan sebagai pegawainya.
B. Kronologi Sejarah Pemerintahan Kesultanan Pontianak
          1706 M (1118 H) Habib Husein Alkadrie lahir di negeri Trim Arridha Hadramaut.
          1729 M (1142 H) Setelah menamatkan pelajaran agama Islam, atas saran gurunya, berangkat menuju ke negeri sebelah timur Jazirah Arab dengan tujuan untuk melaksanakan syiar Islam. Besertanya ikut berangkat dua orang rekanannya yang lain.
          1731 M (1145 H) Keempat santri muda dari Hadramaut itu tiba di Aceh. Selama setahun di sana mereka melakukan syiar Islam. Kecuali tiga orang rekannya, Habib Husein melanjutkan perjalanan menuju Betawi. Selama menjalankan syiar Islam, ia juga melakukan perniagaan.
          Adapun tiga orang rekannya, yaitu Sayid Abubakar Alaydrus menetap di Aceh, Sayid Umar Husein Bachsan Assegaf meneruskan pelajarannya ke siak Sri Indra Pura kemudian menetap di Trengganu.
          1732 M (1146 H) Kurang lebih tujuh bulan Habib Husein berada di Betawi.
          1733 M (1147 H) Habib Husein berada di Semarang selama sekitar dua tahun, selama di Semarang ia menetap bersama ulama Syekh Salim Hambal.
          1735 M (1149 H) Atas petunjuk Syekh Salim Hambal, Habib Husein meneruskan pelajarannya kembali. Tiba di Matan dan diterima untuk mengabdikan diri di Kerajaan Matan selaku ulama di kerajaan ini.
          1736 M (1147 H) Habib Husein dijodohkan mula-mula dengan Nyai Tua, seorang puteri keluarga kerajaan Matan. Nantinya, setelah Nyai Tua mangkat Habib Husein menikah lagi dengan Nyai Tengah. Demikian pula setelah Nyai Tengah wafat, terakhir ia menikah dengan Nyai Bungsu.
          1739 M (1153 H) Hari senin tanggal 3 rabiul awal sekitar pukul 10 pagi, dari rahim Nyai Tua, lahirlah seorang putera sebagai anak kedua pasangan Habib Husein yang diberi nama Syarif Abdurrachman.
          1740 sampai 1755 M Selama lebih kurang 15 tahun, Habib Husein menjabat sebagai mufti atau hakim agama Islam di kerajaan Matan.
          1755 M (1169 H) Atas permintaan raja Mempawah di Sebukit, Opu Daeng Menambon, pada tanggal 8 Muharram 1169 H, Habib Husein beserta keluarganya pindah ke negeri Mempawah. Di sebuah tempat yang belakangan dikenal dengan nama Galaherang, di sinilah ia dan keluarganya menetap untuk melaksanakan syiar Islam sekaligus selaku mufti agama Islam di kerajaan ini. Belakangan kemudian Habib Husein diangkat sebagai tuan besar negeri negeri Mempawah. Pada saat mengikuti kepindahan orang tuanya ini, Syarif Abdurrahman menapak usia 16 tahun.
          1757 M (1171 H) Dalam usia 18 tahun, Syarif Abdurrachman menikah dengan puteri Opu Daeng Menambon yaitu Utin Tjindramidi.
          1764 M (1178 H) Syarif Abdurrachman Alkadrie berlayar ke luar negeri Mempawah, antara lain ke negeri Tambelan, Siantan, Siak Sri Indrapura dan Riau, termasuk juga Johor dan kawasan sekitar selat melaka.
          1765 M (1179 H) Syarif Abdurrachman berlayar dari negeri Mempawah ke Palembang selama sekitar dua bulan.
          1767 M (1180 H) Untuk kedua kalinya, Syarif Abdurrachman selama sekitar dua bulan berada di Palembang. Selanjutnya berlayar (niaga) ke negeri Banjarmasin dan Pasir.
          1768 M (1182 H) Syarif Abdurrachman Alkadrie menikah dengan Ratu Syahranum, puteri dari raja kerajaan Banjar. Sebagai seorang menantu raja, Abdurrachman kemudian diberi gelar Pangeran Syarif Abdurrachman Nur Alam.
          1771 M (1184 H) Dalam usia 64 tahun, pada hari rabu tanggal 3 Dzulhijjah selepas waktu zuhur, Habib Husein Alkadrie Tuan Besar Mempawah berpulang ke Rahmatullah.
          Tanggal 11 Rabiul Akhir, Syarif Abdurrachman kembali ke Mempawah. Pada tanggal 9 Rajab hari Sabtu selepas Zuhur, Syarif Abdurrachamn dan para pengikutnya beserta juga keluarga, berlayar meninggalkan negeri Mempawah untuk mencari lokasi hunian yang baru.
          1771 M (1185 H) Tanggal 14 Rajab hari Kamis pagi, setelah lima hari melayari Sungai Kapuas, rombongan yang dipimpin Syarif Abdurrachman mendarat di sebuah delta di pertemuan dua sungai besar, Kapuas Besar dan Landak Kecil.
          Tanggal 14-30 Rajab, di lokasi yang didarati rombongan ini, dibangun barak-barak dan membuka arealnya untuk dijadikan tempat hunian. Bangunan pertama permanen yang didirikan adalah sebuah surau yang belakangan kemudian dikenal sebagai Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie.
          Dalam bulan syaban, diikuti sejumlah rakyatnya, Abdurrachman sebentar waktu kembali ke Mempawah untuk mengangkut armada tiang sambung dan perlengkapan lainnya untuk dibawa ke negeri yang didirikannya di mana negeri ini dinamakan dengan Pontianak.
          1771 sampai 1778 M (1185 sampai 1191 H) Syarif Abdurrachman Alkadrie selama sekitar enam tahun membangun cikal bakal negeri Pontianak.
          1771 M (1192 H) Dalam bulan Muharram dan Safar, dibantu kerajaan Riau, Syarif Abdurrachman memimpin pasukan kerajaannya menyerang kerajaan Tayan dan Sanggau. Sanggau setelah berusaha bertahan, akhirnya dapat ditaklukkan.
          1778 (1192 H) Pada tanggal 18 Syaban hari Senin, setelah menaklukkan Sanggau, dengan dihadiri oleh raja-raja kerajaan Landak, Simpang, Matan, Sukadana dan Mempawah, sultan Riau menobatkan Syarif Abdurrachman Alkadrie sebagai sultan (pertama) di kesultanan Pontianak.
          1779 M (1193 H) Residen Rembang Willem Adrian Palm mewakili VOC, untuk kali pertamanya menginjakkan kaki di kesultanan Pontianak. Dilangsungkan kontrak pertama antara VOC dengan kesultanan Pontianak dan Sanggau. Sejak tanggal 5 Juli, kesultanan Pontianak beserta negeri taklukkannya (Sanggau dan Tayan) berada di bawah kekuasaan VOC.
          1784 M (1198 H) Dibantu tentara kompeni Belanda, Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie menyerang kerajaan Sukadana yang dikuasai kesultanan Riau.
          1786 M (1200 H) Kesultanan Pontianak dengan bantuan Belanda menyerang kerajaan Mempawah. Perang saudara berkecamuk hampir delapan bulan, di mana akhirnya Mempawah dapat ditundukkan. Panembahan Mempawah, Adijaya Kusuma tak sudi negerinya diinjak Kolonial Belanda kemudian meninggalkan negeri Mempawah. Dengan persetujuan VOC, Syarif Kasim, salah seorang putera Sultan Syarif Abdurrachman, dinobatkan sebagai Panembahan Mempawah. Belum berapa lama Syarif Kasim menduduki tahta kekuasaan, Belanda menyodorkan sebuah kontrak kepadanya.
          1791 M (1206 H) Selama kurang lebih delapan bulan, terjadi peperangan antara kesultanan Pontianak dengan Sambas.
          1792 sampai 1808 M Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie meneruskan menata pemerintahan kesultanannya bersamaan dengan tindakan Belanda membangun di sebelah barat sungai kapuas.
          1808 M (1223 H) Hari sabtu tanggal 1 Muharram selepas zuhur, dalam usia 69 tahun, Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie berpulang ke Hariban llahi dan dimakamkan ke Batulayang.
          1808 M Tanggal 12 maret 1808 Panembahan Syarif Kasim raja Mempawah datang melayat ayahnya (Abdurrachman) yang wafat. Dan ketika itu pula, ia menyatakan kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia bahwa dirinya bertindak sebagai sultan Pontianak.
          Syarif Kasim adalah putera pasangan Abdurrachaman dan isterinya Utin Tjindramidi. Sebetulnya sebelum wafat, Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie telah menetapkan Syarif Osman Alkadrie sebagai calon penggantinya atau selaku Pengeran Ratu. Syarif Osman Alkadrie adalah putera pasangan Abdurrachman dengan isterinya yang bernama Nyai Kesumasari.
          1818 M GubemurJenderal Belanda menugaskan Holtz dengan serdadunya datang ke Pontianak atas permintaan Sultan Syarif Kasim untuk menjaga keamanan kesultanan Pontianak. Kesempatan itu digunakan Belanda untuk melindungi logi dagangnya di sini. Tanggal 9 Agustus, bendera Belanda berkibar di Pontianak dengan persetujuan Sultan Pontianak.
          1819 M Tanggal 12 Januari, Komisaris Belanda Nahuys mengadakan perjanjian atau kontrak baru dengan Sultan Syarif Kasim Alkadrie. Atas dasar kontrak inilah, maka dengan perintah Gubemur Jenderal Du Bus, di wilayah yang dikuasai Belanda di seberang pusat kesultanan, dibangun benteng dengan nama Marianne’s Oordn, mengabadikan nama putri Raja Willem I. Dalam perkembangan kemudian inilah awal hadirnya Kampung Mariana di Pontianak.
          Langkah-langkah lunak yang ditempuh sultan menyebabkan tidak sedikit kerabat kesultanan Pontianak yang menentang dan memilih meninggalkan pusat pemerintahan serta mendirikan kawasan baru yang belakangan dikenal sebagai kampung luar. Beberapa pekan setelah perjanjian dengan Belanda, Sultan Syarif Kasim Alkadrie wafat. Putranya yaitu Syarif Abubakar sangat berhasyrat untuk menggantikannya, namun ditentang keras oleh rakyat dan kalanga.n istana Kadriyah lainnya. Gubernur jenderal mengirim Komisaris Roesler untuk mengangkat Pangeran Ratu Syarif Osman Alkadrie sebagai sultan ketiga di Pontianak.
          1822 M Tanggal 16 Maret, Belanda mengadakan perjanjian dengan kesultanan Pontianak yang intinya sangat merugikan Pontianak.
          1823MTanggal 14 Oktober ditetapkan bahwa kekuasaan pengadilan Belanda diperluas mencakup pengadilan terhadap rakyat kesultanan Pontianak.
          Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Usman istana Kadriyah untuk pertama kalinya direnovasi, Masjid Jami diperluas dan penataan kembali pemerintahan kesultanan Pontianak.
          1855 M Setelah 36 tahun bertahta, Sultan Syarif Osman Alkadrie berpulang ke Haribaan llahi. Anak tertuanya, Syarif Hamid Alkadrie diangkat sebagai pelanjut pemerintahan.
          1857 M Tanggal 4 Januari terbit Surat Keputusan Residen Borneo Barat yang memasukkan Distrik Cina Monterado ke dalam wilayah kesultanan Pontianak. Ini sebagai imbalan atas kebijakan almarhum Sultan Syarif Osman yang tidak memihak atas kekacauan Kongsi Cina di Mandor tahun 1850. Atas usul Sultan Syarif Hamid, Residen Borneo Barat Swager menyetujui pembentukan Majelis Ulama dan menetapkan Syarif Abdurrachman sebagai ketua untuk mengatur keserasian antara hukum kesultanan dan hukum pemerintahan.
          1872 M Relatif singkat, 17 Tahun memerintah, Sultan Syarif Hamid meninggal dunia. la kemudian digantikan anaknya yang tertua Syarif Yusuf Alkadrie. Sultan Yusuf lebih kentara sangat ulama. Tanggal 22 Agustus Belanda menyodorkan sebuah perjanjian lagi di mana inti dari perjanjian ini melibatkan Bestuur Ambtenaar dalam tindak hukum terhadap penduduk pribumi kesultanan.
          Di masa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alkadrie, banyak berdatangan imigran dari negeri-negeri Banjar, pulau Bangka, Belitung, Serasan, Tambelan, daerah sekitar Selat Malaka, bahkan Kamboja, juga Tambelan dan Sempit. Akibat diberlakukannya Undang-Undang Bumi, Pontianak semakin kehilangan kekuasaan dan otonom perekonomiannya.
          1895 M Setelah memerintah selama 23 tahun, Sultan Syarif Yusuf berpulang ke Rahmatullah. la kemudian digantikan putera sulungnya yaitu Syarif Mohammad Alkadrie.
          1911 M Tanggal 23 Juni Belanda menyodorkan perjanjian kembali dengan kesultanan Pontianak di mana perjanjian ini direalisir pada tahun 1912 (tanggal 26 maret) yang inti perjanjian ini Belanda semakin jauh ikut-campur dalam urusan pemerintahan Pontianak.
          1913 M Tanggal 12 Juli, Putera sulung Sultan Syarif Mohammad Alkadrie dari isteri yang bernama Syecha Jamilah binti Machmud Syarwani, dilahirkan. Pewaris tahta ini diberi nama Syarif Hamid Alkadrie. Hamid mendapatkan kehidupan dan pendidikan modern. Semasa kecilnya ia diasuh oleh seorang wanita Inggris.
          1941 M Tanggal 19 Desember, Pontianak dijatuhi bom oleh sembilan pesawat tempur Jepang. Pontianak luluh lantak menimbulkan tidak sedikit korban jiwa. Jepang mulai menduduki Pontianak.
          1943 M Tanggal 23 April, beserta sedikitnya 60 kerabat kesultanan, Sultan Syarif Mohammad Alkadrie diciduk balatentara Dai Nippon Jepang.
          Sultan Syarif Mohammad Alkadrie sebagai salah seorang korban kebengisan dan kekejaman Jepang di Kalimantan Barat semasa Perang Dunia II. Dengan disungkupnya sultan, berakhirlah kekuasaannya yang telah memerintah selama sekitar 48 tahun.
          1945 M Tanggal 29 Agustus atau 29 Hatigatu 2605 dilangsungkan rapat untuk mengisi tahta Kesultanan Pontianak yang kosong sejak tahun 1943. Rapat untuk menentukan calon tokoh Pontianak itu dihadiri Ken Kanrikan Pontianak Tokoro, Asjikin, Jamagata, Hasnoel Kabri, Syarif Osman, Syarif Hamid Alhinduan, Syarif Ibrahim Alkadrie dan Kerabat Kesultanan Pontianak.
          Dalam rapat diputuskan atas dasar adat kesultanan ditetapkan dua orang calon, yang keduanya adalah perempuan anak dari Sultan Mohammad Alkadrie dari istrinya Syarifah Zubaidah Maharatu Besar Permaisuri, yaitu Syarifah Maryam Ratu Laksemana Srinegara yang telah menjadi istri Syarif Hamid, Syarifah Fatimah Ratu Anom Bendahara istri dari Syarif Osman Alkadrie.
          Namun kedua putri sultan itu menyatakan ketidakbersediaan mereka, maka diputuskan akan diangkat sebagai sultan adalah salah seorang cucunya yang sudah akil baligh. Maka diusulkan lima orang cucu sultan sebagal calon, masing-masing Syarif Thaha, Syarif Ahmad Van dan Syarif Hasyim (ketiganya anak dari Syarifah Fatimah Ratu Anom Bendahara) dan dua cucu lainnya anak dari Syarifah Maryam Ratu Laksemana Srinegara, yaitu Syarif Ibrahim dan Syarif Yusuf.
          Keputusan terakhir maka untuk mengisi kekosongan tahta ditetapkanlah cucu yang tertua diantara kelimanya yaitu Syarif Thaha Alkadrie yang ketika itu berusia sekitar 18 tahun. Dalam menjalakan roda pemerintahan, Syarif Thaha didampingi sebuah majelis kesultanan atau zityo hyogikai.
          Syarif Thaha di atas tahta bergelar Pangeran Negara (1927 – 82) Tanggal 29 Oktober, Syarif Hamid Putera sulung sultan Syarif Mohammad Alkadrie telah kembali ke Pontianak, selanjutnya diangkat sebagai sultan Pontianak oleh Pemerintah NICA. Dengan Demikian, berakhirlah masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha Alkadrie Pangeran Negara (29 Agustus 29 Oktober 1945). Syarif Hamid dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dangan gelar Sultan Hamid II.
          1950 M Atas perintah Jaksa Agung, tanggal 5 April Sultan Hamid II ditangkap di Hotel Des Indes Jakarta.
          1953 M Tanggal 8 April, Sultan Hamid II divonis penjara selama 10 tahun dengan tuduhan melakukan tindak suversib.
          1978 M Tanggal 30 Maret, Sultan Hamid II wafat di Jakarta dalam usia 65 tahun dan dimakamkan di Batu Layang Pontianak.
Sultan-sultan Kadriah Pontianak

No.
Nama Sultan
Masa Pemerintahan
1
1 September 1778 – 28 Februari 1808
2
Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
28 Februari 1808 – 25 Februari 1819
3
Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
25 Februari 1819 – 12 April 1855
4
Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie
12 April 1855 – 22 Agustus 1872
5
Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie
22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895
6
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie
15 Maret 1895 – 24 Juni 1944
7
Syarif Taha Alkadrie
24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945
8
29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978
*
Interregnum
30 Maret 1978 – 15 Januari 2004
8
Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
15 Januari 2004 – Sekarang

C. Budaya Melayu Pontianak
          Berdirinya kota Pontianak tanggal 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) di pimpin oleh Syarief Abdurrachman Alkadrie dan dibangunkannya sebuah kerajaan yang terletak dipersimpangan 3 alur sungai, yakni Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak.
          Landasan yang sangat mendasar berdirinya kota Pontianak yakni dengan berdasarkan keimanan/ke Tuhanan, oleh sebab itu sebelum dibangun Keraton/tempat tinggal oleh Syarif Abdurrachman, dibangun dulu sebuah Masjid (Masjid Jami’), dan pada saat itu Syarief Abdurrachman cukup di kenal terutama daerah pesisir di Indonesia, seperti Sumatera Selatan, Riau Kepulauan (Tembelan, Serasan, Terempak, Midai, Ranai, Letung), Sulawesi Selatan, dan Banjarmasin, karena Abdurrachman seorang pelaut ulung yang sering singgah di daerah-daerah. Bersama orang dari daerah-daerah ini membangun kota Pontianak.
          Mereka pada umumnya beragama Islam dan bekerja sebagai nelayan dan pedagang dengan tujuan sama ingin mencari keuntungan. Bagi mereka keadaan alam di Pontianak saat itu dirasakan tidak jauh berbeda dengan alam lingkungan kampung halamannya.
          Dari pendatang berbagai daerah tersebut antara suku yang satu dengan suku yang lain dan latar belakang budaya yang berbeda pula, tetapi karena mempunyai tujuan yang sama sudah tentu amat mudah untuk membaur menjadi satu kesatuan sehingga terciptanya suatu budaya baru yang berbakat dari budaya masing-masing.
          Perpaduan ini menghasilkan suatu masyarakat yang terbuka dan netral yaitu masyarakat Melayu. Di sadari atau tidak budaya Melayu ini berkembang pesat menjadi sebuaah ciri sebuah kota khususnya kota Pontianak sekarag ini. Bahkan sejak masa kerajaan Pontianak bukan saja sudah beradabtasi dan berakulturasi dengan budaya yag berasal dari pesisir nusantara, namun jauh daripada itu yakni kebudayaan yag datang dari negara-negara Asia lainnya seperti Arab, Yaman, Turki, dan Cin hal ini sampai saat sekarang adanya peniggalan nama-nama sebuah perkampungan yang mengambil nama dari asal mereka seperti, kampung Arab berarti pendatang dari Arab, kampung Saigon pendatang dari Vietnam (H. Yusuf Saigon), kampung Kamboja dari Kamboja, kampung Bansir (Banazir sebuah kota yang terdapat di Turki), dan lain sebagainya yang sangat mendasar kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari maupun dala aktivitas, terutama pada kegiatan upacara-upacara adat, tidak pernahlepas dari kehidupan religius baik dilingkungan kerajaan maupun di lingkungan masyarakat biasa, hanya yang membedakan beberapa jenis peralatan/sarana yang digunakan dan Islam merupakan pedoman hidup dari mulai bangun tidur hingga menjelang tidur, dari mulai lahir hingga meninggal, begitu juga dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan.
          Bentuk rumah Melayu yang ada di Pontianak khususnya tidak begitu jauh berbeda dengan bentuk rumah yang ada di Sumatera Selatan, Riau, Sulawesi, dan Banjarmasin. Bentuk rumah pada umunya ada dua antara lain bentuk Lipat Kajang, bentuk ini terdiri dari empat bagian: Serammbi (teras), berfungsi sebagai tempat main anak-anak dan tempat untuk bersantai. Rumah Induk (ruang tamu, kamar tidur). Pelantaran digunakan sebagai tempat mencuci pakaian sekaligus menjemur, tempat mencuci piring dan lain sebagainya. Pelantaran ini juga berfungsi sebagai ruang pemisah antara ruma induk dengan dapur terutama dalam hal mencegah dari bahaya kebakaran. Sedangkan rumah berbentuk Limas dengan rumah panggung yang bertiang tinggi, mempunyai ruang utama terdiri dari tuan tamu, ruang keluarga, dan kamar lantainya yang dibuat susunannya jarang-jarang karena digunakan sebagai tempat mencucui, bagian atasnya tidak diberi atap.
          Pada kamar bagian depan diberi puadai berukir motif tumbuh-tumbuhan dilengkapi dengan kain puadai (tabir) dengan berbagai untaian hiasan-hiasan. Rumah Melayu pada umumnya memiliki loteng, hal ini berfungsi sebagai gudang penyimpanan peralatan rumah tangga juga digunakan tempat bekerja (seperti menenun), pada kegiatan perkawinan loteng juga berfungsibagi wanita yang akan dirias dan bertangas, juga sebagai tempat para gadis berkumpul. Rumah Melayu susunan tangganya menggunakan hitungan ganjil yakni hitungan 5 dan 9 (tangga, tunggu, tinggal).
          Begitu juga peralatan rumah tangga dari ukiran (Lemari Palembang/Peti Palembang Kempu), barang keramik/pecah belah pegaruh dari Cina, logam kuningan, perak, tembaga, baik buatan dalam negeri maupun luar negeri (barang-barang kristal), dan banyak lagi barang-barang bawaan pendatang yang sampai saat ini masih dapat dijumpai dengan digunakan sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar