Kerajaan Pontianak
A. Pemerintahan Kesultanan Pontianak
Sekitar Tahun 1733 Syaif Hussein Bin
Ahmed Alkadrie seorang ulama datang dari Kerajaan Matan untuk mengajar agama
Islam. Di sini Syarif Hussein dianggap sebagai seorang wali oleh rakyat Matan.
Oleh raja Matan, Syarif Hussein kemudian diangkat sebagai penasehat raja. Tetapi
jabatan ini tidak lama dipangkunya, karena adanya perselisihan pendapat
mengenai penjatuhan hukuman mati oleh raja terhadap seorang nakhoda tidak
disetujui Syarif Hussein.
Perbedaan pendapat ini mengakibatkan
Syarif Hussein pindah darim Matan ke Kerajaan Mempawah. Didaerah yang terakhir
ini Syarif Hussein diangkat sebagai Patih dari raja Opu Daeng Menambon. Sebelum
perpisahan ini selama Syarif Hussein menjabat sebagai penasehat raja Matan, ia
menikah dengan Nyai Tua dan dari perkawinan ini mendapat anak sebanyak lima
orang, diantaranya adalah, Syarif Abdurrachman yang dilahirkan pada tahun 1742.
Dalam usia 22 tahun cita-cita
maritimnya membuat Abdurrachman berlayar meninggalkan Mempawah, menuju
Tambelan, Riau, dan kemudian ke Palembang. Dalam perlawatan ini Abdurrachman
disertai oleh penasehat dagangnya yag bernama Daud. Dari Palembang kembali lagi
ke Mempawah tetapi tidak lama, melanjutkan kembali pelayarannya ke Banjarmasin.
Kedatangan Syaraif Abdurrachman ke
Banjarmasin di sekitar tahun 1768, adalah saa yang memungkinkan ia mendapatkan
banyak pelajaran yang dipersiapkandalam pembangunan kesultanan Pontianak
nantinya. Banjarmasin pada tahun 1768 merupakan sebuah bandar perdagangan yang
menggantikan peranan Kerajaan Makassar yang telah lumpuh sejak tahun 1669
melalui Perjanjian Bongaya.
Situasi konfrontasi langsung yang
dilihat dan turut dirasakan selama di Banjarmasin, membekali Syarif
Abdurrachman dan menempa semangatnya semakin berkembang. Kemajuan yang
didapatkan dari hasil perniagaan digunakan untuk mempersenjatai armada
dagangnya. Kekuatan armada yang dibentuk itu mendapatkan pengalaman Perang Laut
yang cukup besar, dimana berhasil menenggelamkan kapal-kapal perang milik
Belanda di Pulau Bangka, Inggris, dan Prancis di Pasir.
Abdurrachman pada tahun 1770
meninggalkan Banjarmasin ke Mempawah karena ayahnya, Syarif Hussein wafat.
Setahun setelah wafatnya itu, Abdurrachman membuka lembaran sejarahnya sebagai
seorang pemimpin yang memegang pucuk pimpinan dalam sebuah pemerintah baru yang
didirikannya.
Bertolaknya Abdurrachman dari Mempawah
ke daerah yang tengah dicarinya adalah pada tanggal 23 Nopember 1771 dengan 16
kapal dengan awak kapal yang terjadi dari rakyat negeri Mempawah sebagai
pengkutnya. Arah pelayaran itu berhenti setelah ditemukannya sebuah pulau yang
terletak di pertemuan muara Sungai Landak dan Sungai Kapuas. Di pulau yang
disangka oleh para awak kapal dipenuhi Hantu Puntianak itulah kemudia dibangun
pusat pemerintahan baru di Kalimantan Barat. Tercatat sebagai kesultanan
terakhir yang didirikan di daerah ini.
Abdurrachman mulanya menemui sedikit
kesulitan untuk meyakinkan awak kapalnya yang kurang begitu berani turun ke
pulau yang dipilihnya itu. Untuk itu Abdurrachman memrintahkan agar menembaki
dengan meriam kapalnya yang ditujukan ke Pulau Hantu Puntianak. Selanjutnya
Abdurrachman memulai untuk turun menambat hutan belantara di pulau itu dan
dalam perkembangan berikutnya mendirikan pusat pemerintahan di atas pulau ini
yag dinamakan Kesultanan Pontianak.
Jacob Ozinga menafsirkan pendapat
sejarawan SCHRIEKE yang menjelaskan bahwa hari jadi Pontianak jatuh pada
tanggal 1 Ramadhan 1185 atau 7 Januari 1772 dan pendapat ini diperkuat pula ole
PJ Veth.
Perkembangan kesultanan Pontianak
mengalami hambatan di bidag perniagaan di masa perkembangan pesat yang dialami
Sukadana yang pada ketika itu merupakan bandar perdagangan yang sejajar dengan
Banjarmasin. Untuk mengalahkan saingannya ini, Sultan Syarif Abdurrachman
Alkadrie, melancarkan penyerangan terhadap kerajaan Sukadana dalam tahun 1789. Dalam
peperangan ini, Belanda ikut andil memberikan bantuannya pada Pontianak. Akibat
dari serangan ini, Sukadana dapat dilumpuhkan.
Di samping itu terjadi pula
penyerangan Pontianak ke Mempawah yang saat itu diperintahkan Gusti Djamiril
Panembahan Adijaya Kusuma Jaya. Setelah bertahan habis-habisan, pada akhirnya
Mempawah dapat ditundukan. Tak sudi negerinya di kuasai Belanda yang banyak
membantu Pontianak, Panembahan Adijaya menyingkir ke Karangan. Vakum kekuasaan
atas Mempawah kemudian diisi oleh Syarif Kasim Alkadri dan Mempawah dijadikan
negeri taklukan Pontianak.
Dengan jatuhnya dua kerajaan, Sukadana
dan Mempawah ke tangan Pontianak, maka pusat perdagangan bertumpu di Pontianak,
sehingga menjadi kesultanan yang mamkmur di bidang perekonomian ketika itu.
Tahun 1808 Abdurrachman wafat, ia kemudian digantikan Syarif Kasim Akadri salah
seorang putranya dari istrinya Utin Tjindramidi yang merupakan anak raja
Mempawah sendiri sebelumnya, yaitu Opu Daeng Menambon. Sebenarnya yang
menggantikan Abdurrachma adalah putra mahkota yaitu Pangeran Ratu Syarif Osman
Alkadrie, namun pada ketika itu masih belum dewasa.
Dengan adanya pengangkatan Syarif
Kasim menjadi Sultan Pontianak, maka kekuasaannya atas Mempawah diserahkan
kepada Gusti Djati Putra Adijaya Kusuma Jaya, Pontianak di masa pemerintahan
Sultan Syarif Kasim menghadapi tiga hal yang sukar dipecahkan, yakni masalah
Bajak Laut, Pemberontakan Sambas dan Cina. Untuk mengatasi masalah itu ia
kemudian meminta bantuan kepada Inggris pada tahun 1814. Komisaris Jendral
kemudian mengambil alih pemerintahan atas dasar Traktat London.
Perkembangan kemudian , delegasi
Belanda datang ke Pontianak untuk memaksa sultan mendatangani kontrak
perjanjian yang sangat merugikan kesultanan Pontianak. Namun demikian, sultan
terpaksa harus menyerahkan daerah taklukkannya yaitu Tayan dan Matan.
Setelah berhasil memaksa sultan
sebagai penguasa Pontianak, maka Belanda melancarkan penyerangan ke Matan yang
bertahan menentang penyerangan kerajaannya itu. Belanda mendapat bentuan dari
Kerajaan Siak Sri Indrapura yang dipimpin seorang bangsawannya yang bernama
Tengku Akil. Akhirnya daerah tersebut dapat ditundukkan, bahkan kemudian Tengku
Akil dengan leluasa mendudukinya tahta sebagai raja di sini.
Salah satu administrasi modern dari Belanda
adalah gajinya para raja di Nusantara dan mereka ditempatkan sebagai pegawai
administrasi pemerintahan Belanda. Saat pemerintahan Sultan Syarif Osman
Alkadrie kembali disodorkan perjanjian, dimana Belanda kembali memaksa
Pontianak untuk menyetujui perjanjian yang isinya menyatakan bahwa pemerintah
Belanda bersama-sama sultan memerintah kesultanan Pontianak. Pada penghasilan
kesultanan dibagi dua dengan memperoleh gaji dari pemerintah Belanda. Keadaan
yang demikian berjalan terus selama masa pemerintahan Syarif Osman tahun
1822-1855.
Setelah imperialis Belanda berhaisl
menyehatkan keuangannya dari hasil Culture System atau Tanam Paksa, dapat
memaksa Sultan Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872) untuk menandangani perjanjian
yang menetapkan bahwa Sultan diberikan gaji pertahunnya dan kekuasaan peradilan
dan kepolisian di dalam lingkungan kesultanan, sepenuhnya diserahkan kepada
pemerintah Belanda.
Tindakan ini diperkuatkan oleh
pemerintahan Belanda adalah untuk mengikat lebih erat Pontianak khususnya di dalam
wilayah kekuasaannya, karena saat itu tengah ada ancaman meluasnya pengaruh
Inggris melalui James Brooke yag menanamkan kekuasaannya di Serawak.
Selanjutnya, dengan tampilnya Syarif
Yusuf Alkadrie sebagai sultan 1872-1895, sudah tidak memungkinkan pula untuk
menghindari cengkeraman Belanda atas Kesultanan Pontianak. Terlebih saat itu
telah dikeluarkannya Undang-Undang Bumi 1870, di mana Belanda memberikan izin
kepada kaum kapasitas untuk menginvestasikan modalnya ke Nusantara, termasuklah
Pontianak. Dengan sendirinya, sultan telah kehilangan kekuasaan politik dan
otonom kesultanannya. Dalam menentukan pajak harus tunduk kepada aturan
pemerintahan Belanda dan acara nyata,
fungsi sultan haya sebagai pengontrol saja.
Sejak ditandatangani perjanjian 5 Juli
1779 di masa awal pemerintahan kesultanan Pontianak di bawah sultan
Abdurrachman, kesultanan Pontianak (hingga hapusnya sistem pemrintahan
kesultanan nantinya) tidak memungkinkan untuk mengadakan perlawanan bersenjata
terhadap Belanda sebagai mana yang dilakukan di kerajaan lain yang memberontak.
Kemudian Sultan Syarif Mohammad
Alkadrie menduduki tahta pemerintahan ayahya sejak 1895, ternyata juga mewarisi
sisa kekuasaan yang diberikan oleh Belanda. Sultan tak luput untuk menerima
perjanjian yang disodorkan oleh Belanda dengan adanya perjanjian pada tanggal
23 Juni1911 dan direalisir tanggal 18 Januari 1912 berdasarka Besluit Gubernur
Nomor 44 Junto 26 Maret 1912 Nomor 23 yang isinya menggariskan bahwa pemerintah
Belanda ikut secara aktif menentukan personil pegawai kesultanan, berlakunya
hukum perdata dan pidana dan dengan sendirinya hukum adat dan hukum Islam di
kesultanan dihapuskan, serta seluruh pegawai kesultanan diberika gaji oleh
pemerintah Belanda.
Praktis dengan adanya kontrak
perjanjian baru ini pemerintah Belanda berhasil menjadikan lingkungan bangsawan
kesultanan sebagai pegawainya.
B. Kronologi Sejarah Pemerintahan
Kesultanan Pontianak
1706 M (1118 H) Habib Husein Alkadrie
lahir di negeri Trim Arridha Hadramaut.
1729 M (1142 H) Setelah menamatkan
pelajaran agama Islam, atas saran gurunya, berangkat menuju ke negeri sebelah
timur Jazirah Arab dengan tujuan untuk melaksanakan syiar Islam. Besertanya
ikut berangkat dua orang rekanannya yang lain.
1731 M (1145 H) Keempat santri muda
dari Hadramaut itu tiba di Aceh. Selama setahun di sana mereka melakukan syiar
Islam. Kecuali tiga orang rekannya, Habib Husein melanjutkan perjalanan menuju
Betawi. Selama menjalankan syiar Islam, ia juga melakukan perniagaan.
Adapun tiga orang rekannya, yaitu
Sayid Abubakar Alaydrus menetap di Aceh, Sayid Umar Husein Bachsan Assegaf
meneruskan pelajarannya ke siak Sri Indra Pura kemudian menetap di Trengganu.
1732 M (1146 H) Kurang lebih tujuh
bulan Habib Husein berada di Betawi.
1733 M (1147 H) Habib Husein berada di
Semarang selama sekitar dua tahun, selama di Semarang ia menetap bersama ulama
Syekh Salim Hambal.
1735 M (1149 H) Atas petunjuk Syekh
Salim Hambal, Habib Husein meneruskan pelajarannya kembali. Tiba di Matan dan
diterima untuk mengabdikan diri di Kerajaan Matan selaku ulama di kerajaan ini.
1736 M (1147 H) Habib Husein
dijodohkan mula-mula dengan Nyai Tua, seorang puteri keluarga kerajaan Matan.
Nantinya, setelah Nyai Tua mangkat Habib Husein menikah lagi dengan Nyai
Tengah. Demikian pula setelah Nyai Tengah wafat, terakhir ia menikah dengan
Nyai Bungsu.
1739 M (1153 H) Hari senin tanggal 3
rabiul awal sekitar pukul 10 pagi, dari rahim Nyai Tua, lahirlah seorang putera
sebagai anak kedua pasangan Habib Husein yang diberi nama Syarif Abdurrachman.
1740 sampai 1755 M Selama lebih kurang
15 tahun, Habib Husein menjabat sebagai mufti atau hakim agama Islam di
kerajaan Matan.
1755 M (1169 H) Atas permintaan raja
Mempawah di Sebukit, Opu Daeng Menambon, pada tanggal 8 Muharram 1169 H, Habib
Husein beserta keluarganya pindah ke negeri Mempawah. Di sebuah tempat yang
belakangan dikenal dengan nama Galaherang, di sinilah ia dan keluarganya
menetap untuk melaksanakan syiar Islam sekaligus selaku mufti agama Islam di
kerajaan ini. Belakangan kemudian Habib Husein diangkat sebagai tuan besar
negeri negeri Mempawah. Pada saat mengikuti kepindahan orang tuanya ini, Syarif
Abdurrahman menapak usia 16 tahun.
1757 M (1171 H) Dalam usia 18 tahun,
Syarif Abdurrachman menikah dengan puteri Opu Daeng Menambon yaitu Utin
Tjindramidi.
1764 M (1178 H) Syarif Abdurrachman
Alkadrie berlayar ke luar negeri Mempawah, antara lain ke negeri Tambelan,
Siantan, Siak Sri Indrapura dan Riau, termasuk juga Johor dan kawasan sekitar
selat melaka.
1765 M (1179 H) Syarif Abdurrachman
berlayar dari negeri Mempawah ke Palembang selama sekitar dua bulan.
1767 M (1180 H) Untuk kedua kalinya,
Syarif Abdurrachman selama sekitar dua bulan berada di Palembang. Selanjutnya
berlayar (niaga) ke negeri Banjarmasin dan Pasir.
1768 M (1182 H) Syarif Abdurrachman
Alkadrie menikah dengan Ratu Syahranum, puteri dari raja kerajaan Banjar.
Sebagai seorang menantu raja, Abdurrachman kemudian diberi gelar Pangeran
Syarif Abdurrachman Nur Alam.
1771 M (1184 H) Dalam usia 64 tahun,
pada hari rabu tanggal 3 Dzulhijjah selepas waktu zuhur, Habib Husein Alkadrie
Tuan Besar Mempawah berpulang ke Rahmatullah.
Tanggal 11 Rabiul Akhir, Syarif
Abdurrachman kembali ke Mempawah. Pada tanggal 9 Rajab hari Sabtu selepas
Zuhur, Syarif Abdurrachamn dan para pengikutnya beserta juga keluarga, berlayar
meninggalkan negeri Mempawah untuk mencari lokasi hunian yang baru.
1771 M (1185 H) Tanggal 14 Rajab hari
Kamis pagi, setelah lima hari melayari Sungai Kapuas, rombongan yang dipimpin
Syarif Abdurrachman mendarat di sebuah delta di pertemuan dua sungai besar,
Kapuas Besar dan Landak Kecil.
Tanggal 14-30 Rajab, di lokasi yang
didarati rombongan ini, dibangun barak-barak dan membuka arealnya untuk
dijadikan tempat hunian. Bangunan pertama permanen yang didirikan adalah sebuah
surau yang belakangan kemudian dikenal sebagai Masjid Jami Sultan Syarif
Abdurrachman Alkadrie.
Dalam bulan syaban, diikuti sejumlah
rakyatnya, Abdurrachman sebentar waktu kembali ke Mempawah untuk mengangkut
armada tiang sambung dan perlengkapan lainnya untuk dibawa ke negeri yang
didirikannya di mana negeri ini dinamakan dengan Pontianak.
1771 sampai 1778 M (1185 sampai 1191
H) Syarif Abdurrachman Alkadrie selama sekitar enam tahun membangun cikal bakal
negeri Pontianak.
1771 M (1192 H) Dalam bulan Muharram
dan Safar, dibantu kerajaan Riau, Syarif Abdurrachman memimpin pasukan
kerajaannya menyerang kerajaan Tayan dan Sanggau. Sanggau setelah berusaha
bertahan, akhirnya dapat ditaklukkan.
1778 (1192 H) Pada tanggal 18 Syaban
hari Senin, setelah menaklukkan Sanggau, dengan dihadiri oleh raja-raja
kerajaan Landak, Simpang, Matan, Sukadana dan Mempawah, sultan Riau menobatkan
Syarif Abdurrachman Alkadrie sebagai sultan (pertama) di kesultanan Pontianak.
1779 M (1193 H) Residen Rembang Willem
Adrian Palm mewakili VOC, untuk kali pertamanya menginjakkan kaki di kesultanan
Pontianak. Dilangsungkan kontrak pertama antara VOC dengan kesultanan Pontianak
dan Sanggau. Sejak tanggal 5 Juli, kesultanan Pontianak beserta negeri
taklukkannya (Sanggau dan Tayan) berada di bawah kekuasaan VOC.
1784 M (1198 H) Dibantu tentara
kompeni Belanda, Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie menyerang kerajaan
Sukadana yang dikuasai kesultanan Riau.
1786 M (1200 H) Kesultanan Pontianak
dengan bantuan Belanda menyerang kerajaan Mempawah. Perang saudara berkecamuk
hampir delapan bulan, di mana akhirnya Mempawah dapat ditundukkan. Panembahan
Mempawah, Adijaya Kusuma tak sudi negerinya diinjak Kolonial Belanda kemudian
meninggalkan negeri Mempawah. Dengan persetujuan VOC, Syarif Kasim, salah
seorang putera Sultan Syarif Abdurrachman, dinobatkan sebagai Panembahan
Mempawah. Belum berapa lama Syarif Kasim menduduki tahta kekuasaan, Belanda
menyodorkan sebuah kontrak kepadanya.
1791 M (1206 H) Selama kurang lebih
delapan bulan, terjadi peperangan antara kesultanan Pontianak dengan Sambas.
1792 sampai 1808 M Sultan Syarif
Abdurrachman Alkadrie meneruskan menata pemerintahan kesultanannya bersamaan
dengan tindakan Belanda membangun di sebelah barat sungai kapuas.
1808 M (1223 H) Hari sabtu tanggal 1
Muharram selepas zuhur, dalam usia 69 tahun, Sultan Syarif Abdurrachman
Alkadrie berpulang ke Hariban llahi dan dimakamkan ke Batulayang.
1808 M Tanggal 12 maret 1808
Panembahan Syarif Kasim raja Mempawah datang melayat ayahnya (Abdurrachman)
yang wafat. Dan ketika itu pula, ia menyatakan kepada Gubernur Jenderal Belanda
di Batavia bahwa dirinya bertindak sebagai sultan Pontianak.
Syarif Kasim adalah putera pasangan
Abdurrachaman dan isterinya Utin Tjindramidi. Sebetulnya sebelum wafat, Sultan
Syarif Abdurrachman Alkadrie telah menetapkan Syarif Osman Alkadrie sebagai
calon penggantinya atau selaku Pengeran Ratu. Syarif Osman Alkadrie adalah
putera pasangan Abdurrachman dengan isterinya yang bernama Nyai Kesumasari.
1818 M GubemurJenderal Belanda
menugaskan Holtz dengan serdadunya datang ke Pontianak atas permintaan Sultan
Syarif Kasim untuk menjaga keamanan kesultanan Pontianak. Kesempatan itu
digunakan Belanda untuk melindungi logi dagangnya di sini. Tanggal 9 Agustus,
bendera Belanda berkibar di Pontianak dengan persetujuan Sultan Pontianak.
1819 M Tanggal 12 Januari, Komisaris
Belanda Nahuys mengadakan perjanjian atau kontrak baru dengan Sultan Syarif
Kasim Alkadrie. Atas dasar kontrak inilah, maka dengan perintah Gubemur
Jenderal Du Bus, di wilayah yang dikuasai Belanda di seberang pusat kesultanan,
dibangun benteng dengan nama Marianne’s Oordn, mengabadikan nama putri Raja
Willem I. Dalam perkembangan kemudian inilah awal hadirnya Kampung Mariana di
Pontianak.
Langkah-langkah lunak yang ditempuh
sultan menyebabkan tidak sedikit kerabat kesultanan Pontianak yang menentang
dan memilih meninggalkan pusat pemerintahan serta mendirikan kawasan baru yang
belakangan dikenal sebagai kampung luar. Beberapa pekan setelah perjanjian
dengan Belanda, Sultan Syarif Kasim Alkadrie wafat. Putranya yaitu Syarif
Abubakar sangat berhasyrat untuk menggantikannya, namun ditentang keras oleh
rakyat dan kalanga.n istana Kadriyah lainnya. Gubernur jenderal mengirim
Komisaris Roesler untuk mengangkat Pangeran Ratu Syarif Osman Alkadrie sebagai
sultan ketiga di Pontianak.
1822 M Tanggal 16 Maret, Belanda
mengadakan perjanjian dengan kesultanan Pontianak yang intinya sangat merugikan
Pontianak.
1823MTanggal 14 Oktober ditetapkan
bahwa kekuasaan pengadilan Belanda diperluas mencakup pengadilan terhadap
rakyat kesultanan Pontianak.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif
Usman istana Kadriyah untuk pertama kalinya direnovasi, Masjid Jami diperluas
dan penataan kembali pemerintahan kesultanan Pontianak.
1855 M Setelah 36 tahun bertahta,
Sultan Syarif Osman Alkadrie berpulang ke Haribaan llahi. Anak tertuanya,
Syarif Hamid Alkadrie diangkat sebagai pelanjut pemerintahan.
1857 M Tanggal 4 Januari terbit Surat
Keputusan Residen Borneo Barat yang memasukkan Distrik Cina Monterado ke dalam
wilayah kesultanan Pontianak. Ini sebagai imbalan atas kebijakan almarhum
Sultan Syarif Osman yang tidak memihak atas kekacauan Kongsi Cina di Mandor
tahun 1850. Atas usul Sultan Syarif Hamid, Residen Borneo Barat Swager
menyetujui pembentukan Majelis Ulama dan menetapkan Syarif Abdurrachman sebagai
ketua untuk mengatur keserasian antara hukum kesultanan dan hukum pemerintahan.
1872 M Relatif singkat, 17 Tahun
memerintah, Sultan Syarif Hamid meninggal dunia. la kemudian digantikan anaknya
yang tertua Syarif Yusuf Alkadrie. Sultan Yusuf lebih kentara sangat ulama.
Tanggal 22 Agustus Belanda menyodorkan sebuah perjanjian lagi di mana inti dari
perjanjian ini melibatkan Bestuur Ambtenaar dalam tindak hukum terhadap
penduduk pribumi kesultanan.
Di masa pemerintahan Sultan Syarif
Yusuf Alkadrie, banyak berdatangan imigran dari negeri-negeri Banjar, pulau
Bangka, Belitung, Serasan, Tambelan, daerah sekitar Selat Malaka, bahkan
Kamboja, juga Tambelan dan Sempit. Akibat diberlakukannya Undang-Undang Bumi,
Pontianak semakin kehilangan kekuasaan dan otonom perekonomiannya.
1895 M Setelah memerintah selama 23
tahun, Sultan Syarif Yusuf berpulang ke Rahmatullah. la kemudian digantikan
putera sulungnya yaitu Syarif Mohammad Alkadrie.
1911 M Tanggal 23 Juni Belanda
menyodorkan perjanjian kembali dengan kesultanan Pontianak di mana perjanjian
ini direalisir pada tahun 1912 (tanggal 26 maret) yang inti perjanjian ini
Belanda semakin jauh ikut-campur dalam urusan pemerintahan Pontianak.
1913 M Tanggal 12 Juli, Putera sulung
Sultan Syarif Mohammad Alkadrie dari isteri yang bernama Syecha Jamilah binti
Machmud Syarwani, dilahirkan. Pewaris tahta ini diberi nama Syarif Hamid
Alkadrie. Hamid mendapatkan kehidupan dan pendidikan modern. Semasa kecilnya ia
diasuh oleh seorang wanita Inggris.
1941 M Tanggal 19 Desember, Pontianak
dijatuhi bom oleh sembilan pesawat tempur Jepang. Pontianak luluh lantak
menimbulkan tidak sedikit korban jiwa. Jepang mulai menduduki Pontianak.
1943 M Tanggal 23 April, beserta sedikitnya
60 kerabat kesultanan, Sultan Syarif Mohammad Alkadrie diciduk balatentara Dai
Nippon Jepang.
Sultan Syarif Mohammad Alkadrie
sebagai salah seorang korban kebengisan dan kekejaman Jepang di Kalimantan
Barat semasa Perang Dunia II. Dengan disungkupnya sultan, berakhirlah
kekuasaannya yang telah memerintah selama sekitar 48 tahun.
1945 M Tanggal 29 Agustus atau 29
Hatigatu 2605 dilangsungkan rapat untuk mengisi tahta Kesultanan Pontianak yang
kosong sejak tahun 1943. Rapat untuk menentukan calon tokoh Pontianak itu
dihadiri Ken Kanrikan Pontianak Tokoro, Asjikin, Jamagata, Hasnoel Kabri,
Syarif Osman, Syarif Hamid Alhinduan, Syarif Ibrahim Alkadrie dan Kerabat
Kesultanan Pontianak.
Dalam rapat diputuskan atas dasar adat
kesultanan ditetapkan dua orang calon, yang keduanya adalah perempuan anak dari
Sultan Mohammad Alkadrie dari istrinya Syarifah Zubaidah Maharatu Besar
Permaisuri, yaitu Syarifah Maryam Ratu Laksemana Srinegara yang telah menjadi
istri Syarif Hamid, Syarifah Fatimah Ratu Anom Bendahara istri dari Syarif
Osman Alkadrie.
Namun kedua putri sultan itu
menyatakan ketidakbersediaan mereka, maka diputuskan akan diangkat sebagai
sultan adalah salah seorang cucunya yang sudah akil baligh. Maka diusulkan lima
orang cucu sultan sebagal calon, masing-masing Syarif Thaha, Syarif Ahmad Van
dan Syarif Hasyim (ketiganya anak dari Syarifah Fatimah Ratu Anom Bendahara)
dan dua cucu lainnya anak dari Syarifah Maryam Ratu Laksemana Srinegara, yaitu
Syarif Ibrahim dan Syarif Yusuf.
Keputusan terakhir maka untuk mengisi
kekosongan tahta ditetapkanlah cucu yang tertua diantara kelimanya yaitu Syarif
Thaha Alkadrie yang ketika itu berusia sekitar 18 tahun. Dalam menjalakan roda
pemerintahan, Syarif Thaha didampingi sebuah majelis kesultanan atau zityo hyogikai.
Syarif Thaha di atas tahta bergelar
Pangeran Negara (1927 – 82) Tanggal 29 Oktober, Syarif Hamid Putera sulung
sultan Syarif Mohammad Alkadrie telah kembali ke Pontianak, selanjutnya
diangkat sebagai sultan Pontianak oleh Pemerintah NICA. Dengan Demikian,
berakhirlah masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha Alkadrie Pangeran Negara (29
Agustus 29 Oktober 1945). Syarif Hamid dinobatkan sebagai Sultan Pontianak
dangan gelar Sultan Hamid II.
1950 M Atas perintah Jaksa Agung,
tanggal 5 April Sultan Hamid II ditangkap di Hotel Des Indes Jakarta.
1953 M Tanggal 8 April, Sultan Hamid
II divonis penjara selama 10 tahun dengan tuduhan melakukan tindak suversib.
1978 M
Tanggal 30 Maret, Sultan Hamid II wafat di Jakarta dalam usia 65 tahun dan
dimakamkan di Batu Layang Pontianak.
Sultan-sultan Kadriah Pontianak
No.
|
Nama Sultan
|
Masa Pemerintahan
|
1
|
1 September
1778 – 28 Februari 1808
|
|
2
|
Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
|
28 Februari
1808 – 25 Februari 1819
|
3
|
Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
|
25 Februari
1819 – 12 April 1855
|
4
|
Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie
|
12 April 1855
– 22 Agustus 1872
|
5
|
Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie
|
22 Agustus
1872 – 15 Maret 1895
|
6
|
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie
|
15 Maret 1895
– 24 Juni 1944
|
7
|
Syarif Taha Alkadrie
|
24 Juni 1944
– 29 Oktober 1945
|
8
|
29 Oktober
1945 – 30 Maret 1978
|
|
*
|
Interregnum
|
30 Maret 1978
– 15 Januari 2004
|
8
|
Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan
Syarif Muhammad Alkadrie
|
15 Januari
2004 – Sekarang
|
C. Budaya Melayu Pontianak
Berdirinya kota Pontianak tanggal 23
Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) di pimpin oleh Syarief Abdurrachman Alkadrie dan
dibangunkannya sebuah kerajaan yang terletak dipersimpangan 3 alur sungai,
yakni Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak.
Landasan yang sangat mendasar
berdirinya kota Pontianak yakni dengan berdasarkan keimanan/ke Tuhanan, oleh
sebab itu sebelum dibangun Keraton/tempat tinggal oleh Syarif Abdurrachman,
dibangun dulu sebuah Masjid (Masjid Jami’), dan pada saat itu Syarief
Abdurrachman cukup di kenal terutama daerah pesisir di Indonesia, seperti
Sumatera Selatan, Riau Kepulauan (Tembelan, Serasan, Terempak, Midai, Ranai,
Letung), Sulawesi Selatan, dan Banjarmasin, karena Abdurrachman seorang pelaut
ulung yang sering singgah di daerah-daerah. Bersama orang dari daerah-daerah
ini membangun kota Pontianak.
Mereka pada umumnya beragama Islam dan
bekerja sebagai nelayan dan pedagang dengan tujuan sama ingin mencari
keuntungan. Bagi mereka keadaan alam di Pontianak saat itu dirasakan tidak jauh
berbeda dengan alam lingkungan kampung halamannya.
Dari pendatang berbagai daerah tersebut
antara suku yang satu dengan suku yang lain dan latar belakang budaya yang
berbeda pula, tetapi karena mempunyai tujuan yang sama sudah tentu amat mudah
untuk membaur menjadi satu kesatuan sehingga terciptanya suatu budaya baru yang
berbakat dari budaya masing-masing.
Perpaduan ini menghasilkan suatu
masyarakat yang terbuka dan netral yaitu masyarakat Melayu. Di sadari atau
tidak budaya Melayu ini berkembang pesat menjadi sebuaah ciri sebuah kota
khususnya kota Pontianak sekarag ini. Bahkan sejak masa kerajaan Pontianak
bukan saja sudah beradabtasi dan berakulturasi dengan budaya yag berasal dari
pesisir nusantara, namun jauh daripada itu yakni kebudayaan yag datang dari
negara-negara Asia lainnya seperti Arab, Yaman, Turki, dan Cin hal ini sampai
saat sekarang adanya peniggalan nama-nama sebuah perkampungan yang mengambil
nama dari asal mereka seperti, kampung Arab berarti pendatang dari Arab, kampung
Saigon pendatang dari Vietnam (H. Yusuf Saigon), kampung Kamboja dari Kamboja,
kampung Bansir (Banazir sebuah kota yang terdapat di Turki), dan lain
sebagainya yang sangat mendasar kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari maupun
dala aktivitas, terutama pada kegiatan upacara-upacara adat, tidak pernahlepas
dari kehidupan religius baik dilingkungan kerajaan maupun di lingkungan
masyarakat biasa, hanya yang membedakan beberapa jenis peralatan/sarana yang
digunakan dan Islam merupakan pedoman hidup dari mulai bangun tidur hingga
menjelang tidur, dari mulai lahir hingga meninggal, begitu juga dalam memenuhi
kebutuhan sandang, pangan, papan.
Bentuk rumah Melayu yang ada di
Pontianak khususnya tidak begitu jauh berbeda dengan bentuk rumah yang ada di
Sumatera Selatan, Riau, Sulawesi, dan Banjarmasin. Bentuk rumah pada umunya ada
dua antara lain bentuk Lipat Kajang, bentuk ini terdiri dari empat bagian:
Serammbi (teras), berfungsi sebagai tempat main anak-anak dan tempat untuk
bersantai. Rumah Induk (ruang tamu, kamar tidur). Pelantaran digunakan sebagai
tempat mencuci pakaian sekaligus menjemur, tempat mencuci piring dan lain
sebagainya. Pelantaran ini juga berfungsi sebagai ruang pemisah antara ruma
induk dengan dapur terutama dalam hal mencegah dari bahaya kebakaran. Sedangkan
rumah berbentuk Limas dengan rumah panggung yang bertiang tinggi, mempunyai
ruang utama terdiri dari tuan tamu, ruang keluarga, dan kamar lantainya yang
dibuat susunannya jarang-jarang karena digunakan sebagai tempat mencucui,
bagian atasnya tidak diberi atap.
Pada kamar bagian depan diberi puadai
berukir motif tumbuh-tumbuhan dilengkapi dengan kain puadai (tabir) dengan
berbagai untaian hiasan-hiasan. Rumah Melayu pada umumnya memiliki loteng, hal
ini berfungsi sebagai gudang penyimpanan peralatan rumah tangga juga digunakan
tempat bekerja (seperti menenun), pada kegiatan perkawinan loteng juga
berfungsibagi wanita yang akan dirias dan bertangas, juga sebagai tempat para
gadis berkumpul. Rumah Melayu susunan tangganya menggunakan hitungan ganjil
yakni hitungan 5 dan 9 (tangga, tunggu, tinggal).
Begitu juga peralatan rumah tangga
dari ukiran (Lemari Palembang/Peti Palembang Kempu), barang keramik/pecah belah
pegaruh dari Cina, logam kuningan, perak, tembaga, baik buatan dalam negeri
maupun luar negeri (barang-barang kristal), dan banyak lagi barang-barang
bawaan pendatang yang sampai saat ini masih dapat dijumpai dengan digunakan
sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar