Minggu, 06 Juli 2014

Makalah : Robo'-Robo'



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Awal diperingatinya Robo-robo ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon dan Putri Kesumba yang merupakan cucu Panembahan Mempawah kala itu yakni, Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan Raja Patih Gumantar dari Kerajaan Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.
Masuknya Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah, bermaksud menerima kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang bergelar Ratu Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya bergelar Pangeran Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Berlayarnya Opu Daeng Manambon dari Kerajaan Matan Sukadana (Kabupaten Ketapang) diiringi sekitar 40 perahu. Saat masuk di Muara Kuala Mempawah, rombongan disambut dengan suka cita oleh masyarakat Mempawah. Penyambutan itu dilakukan dengan memasang berbagai kertas dan kain warna warni di rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir sungai. Bahkan, beberapa warga pun menyongsong masuknya Opu Daeng Manambon ke Sungai Mempawah dengan menggunakan sampan.
Terharu karena melihat sambutan rakyat Mempawah yang cukup meriah, Opu Daeng Manambon pun memberikan bekal makanannya kepada warga yang berada di pinggir sungai untuk dapat dinikmati mereka juga. Karena saat kedatangannya bertepatan dengan hari Minggu terakhir bulan Syafar, lantas rombongan tersebut menyempatkan diri turun di Kuala Mempawah. Selanjutnya Opu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya, mohon keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang kemudian dijadikan sebagai awal digelarnya hari Robo-robo, yang saban tahun rutin dilakukan warga Mempawah, dengan melakukan makan di luar rumah bersama sanak saudara dan tetangga.
Bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini sebagai bulan naas dan sial. Sang Pencipta dipercayai menurunkan berbagai malapetaka pada bulan Safar. Oleh sebab itu, masyarakat yang meyakininya akan menggelar ritual khusus agar terhindar dari “kemurkaan” bulan Safar. Ritual tersebut juga dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur.
Namun pandangan di atas berbeda dengan pandangan masyarakat Kota Mempawah yang menganggap bulan Safar sebagai “bulan keberkahan” dan kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan. Karena pada bulan Safar terjadi peristiwa penting yang sangat besar artinya bagi masyarakat Kota Mempawah hingga saat ini. Peristiwa penting tersebut kemudian diperingati dengan menggelar Ritual Robo-robo.
Dinamakan Robo-robo karena ritual ini digelar setiap hari Rabu terakhir bulan Safar menurut penanggalan Hijriah. Tujuan digelarnya ritual ini adalah untuk memperingati kedatangan dan/atau napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan, Martapura, Kabupaten Ketapang, ke Kerajaan Mempawah, Kabupaten Pontianak, pada tahun 1737 M/1448 H.
Beliau berkuasa di sana sekitar 26 tahun, yakni dari tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun 1766 M.

B. Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Sejarah Robo-robo?
2.    Bagaimana keistimewaan Robo-robo?
3.    Seperti apa mengenang kedatangan Opu Daeng Menambong?
4.    Mengapa Robo-robo merupakan aset wisata budaya Mempawah?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Robo-Robo
Awal diperingatinya Robo-robo ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon dan Putri Kesumba yang merupakan cucu Panembahan Mempawah kala itu yakni, Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan Raja Patih Gumantar dari Kerajaan Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.\Masuknya Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah, bermaksud menerima kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang bergelar Ratu Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya bergelar Pangeran Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Berlayarnya Opu Daeng Manambon dari Kerajaan Matan Sukadana (Kabupaten Ketapang) diiringi sekitar 40 perahu. Saat masuk di Muara Kuala Mempawah, rombongan disambut dengan suka cita oleh masyarakat Mempawah. Penyambutan itu dilakukan dengan memasang berbagai kertas dan kain warna warni di rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir sungai. Bahkan, beberapa warga pun menyongsong masuknya Opu Daeng Manambon ke Sungai Mempawah dengan menggunakan sampan.
Terharu karena melihat sambutan rakyat Mempawah yang cukup meriah, Opu Daeng Manambon pun memberikan bekal makanannya kepada warga yang berada di pinggir sungai untuk dapat dinikmati mereka juga. Karena saat kedatangannya bertepatan dengan hari Minggu terakhir bulan Syafar, lantas rombongan tersebut menyempatkan diri turun di Kuala Mempawah. Selanjutnya Opu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya, mohon keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang kemudian dijadikan sebagai awal digelarnya hari Robo-robo, yang saban tahun rutin dilakukan warga Mempawah, dengan melakukan makan di luar rumah bersama sanak saudara dan tetangga.
Bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini sebagai bulan naas dan sial. Sang Pencipta dipercayai menurunkan berbagai malapetaka pada bulan Safar. Oleh sebab itu, masyarakat yang meyakininya akan menggelar ritual khusus agar terhindar dari “kemurkaan” bulan Safar. Ritual tersebut juga dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur.
Namun pandangan di atas berbeda dengan pandangan masyarakat Kota Mempawah yang menganggap bulan Safar sebagai “bulan keberkahan” dan kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan. Karena pada bulan Safar terjadi peristiwa penting yang sangat besar artinya bagi masyarakat Kota Mempawah hingga saat ini. Peristiwa penting tersebut kemudian diperingati dengan menggelar Ritual Robo-robo.
Dinamakan Robo-robo karena ritual ini digelar setiap hari Rabu terakhir bulan Safar menurut penanggalan Hijriah. Tujuan digelarnya ritual ini adalah untuk memperingati kedatangan dan/atau napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan, Martapura, Kabupaten Ketapang, ke Kerajaan Mempawah, Kabupaten Pontianak, pada tahun 1737 M/1448 H.
Opu Daeng Menambon adalah putra ketiga Opu Daeng Rilekke yang terkenal sebagai pelaut handal dan gemar sekali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Nusantara bersama dengan anak-anaknya. Opu Daeng Rilekke sendiri adalah putra ketiga Sultan La Madusalat dari Kesultanan Luwuk, Bone, Sulawesi Selatan, yang telah menjadi Kesultanan Islam sejak tahun 1398 M. Opu Daeng Menambon beserta keluarganya pindah dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah atas permintaan Panembahan Senggauk, Raja Mempawah waktu itu. Setelah Panembahan Senggauk mangkat, Opu Daeng Menambon naik tahta. Beliau berkuasa di sana sekitar 26 tahun, yakni dari tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun 1766 M.

B. Keistimewaan Robo-Robo
Sebagai sebuah peristiwa budaya, Ritual Robo-robo sarat dengan simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai historis dan kultural. Ritual Robo-robo merupakan napak tilas kedatangan Opu Daeng Menambon beserta pengikutnya dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah yang konon menggunakan 40 Perahu Bidar. Kedatangan Opu Daeng Menambon beserta pengikutnya ini menjadi cikal-bakal masuk dan berkembangnya agama Islam ke Kota Mempawah. Perlahan-lahan, proses islamisasi pun terjadi dan puncaknya adalah beralihnya Kerajaan Mempawah yang semula beragama Hindu menjadi kerajaan bercorak Islam.
Pengumandangan azan dan pembacaan doa yang dilakukan oleh Pemangku Adat Istana Amantubillah sebelum dimulainya Ritual Buang-buang menandakan bahwa dalam prosesi Ritual Robo-robo juga terdapat nilai-nilai religius. Sesajennya yang terdiri dari beras kuning, bertih, dan setanggi pun sarat dengan makna-makna tertentu. Nasi kuning dan bertih melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan, sedangkan setanggi mengandung makna keberkahan. Dalam Ritual Buang-buang tidak semata-mata penghormatan dan pengakuan terhadap keberadaan sungai dan laut sebagai salah satu sumber penghidupan masyarakat, tapi juga tersirat keinginan untuk hidup selaras dengan alam sekitar.
Ritual ini biasanya dimulai selepas shalat Zuhur, di mana raja Istana Amantubillah beserta para petinggi istana bertolak dari Desa Benteng menggunakan Perahu Lancang Kuning dan Perahu Bidar. Perahu Lancang Kuning khusus digunakan oleh raja, sedangkan Perahu Bidar diperuntukan bagi petinggi istana. Mereka akan berlayar selama satu jam menuju muara Kuala/Sungai Mempawah yang terletak di Desa Kuala Mempawah, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Sesampainya di muara Sungai Mempawah, seorang kerabat istana yang menjabat Pemangku Adat mengumandangkan azan dan membaca doa talak bala (talak balak). Kemudian dilanjutkan dengan Ritual Buang-buang, yaitu melempar sesajen ke Sungai Mempawah. Setelah itu, raja beserta para petinggi istana merapat ke tepi Sungai Mempawah untuk bersiap-siap melaksanakan Makan Saprahan di halaman depan Istana Amantubillah. Gambaran di atas merupakan sebagian dari rangkaian prosesi Ritual Robo-robo.
Kebersamaan dan silaturahmi antar berbagai elemen masyarakat adalah nilai-nilai lain yang terkandung dalam prosesi Ritual Robo-robo. Hal ini, misalnya, terlihat pada kegiatan Makan Saprahan. Makan Saprahan adalah makan bersama-sama di halaman depan Istana Amantubillah menggunakan baki atau talam. Setiap baki/talam (saprah) yang berisi nasi dan lauk biasanya diperuntukan bagi empat atau lima orang. Dalam Makan Saprahan keakraban terjalin, suasana mencair, dan sekat-sekat melebur jadi satu. Pada saat makan, tidak lagi dipersoalkan status, agama, dan asal-usul seseorang.
Hal lain yang tak kalah menariknya dalam Ritual Robo-robo adalah dihidangkannya berbagai masakan khas istana dan daerah setempat yang mungkin tidak lagi populer di tengah-tengah masyarakat, seperti lauk opor ayam putih, sambal serai udang, selada timun, ikan masak asam pedas, dan sop ayam putih. Sebagai penganan pencuci mulut disuguhkan kue sangon, kue jorong, bingke ubi, putuh buloh, dan pisang raja. Sementara untuk minumnya, disediakan air serbat yang berkhasiat memulihkan stamina.
Untuk memeriahkan Ritual Robo-robo, biasanya ditampilkan aneka hiburan tradisional masyarakat setempat, seperti tundang (pantun berdendang), japin, dan lomba perahu bidar.

C. Mengenang Kedatangan Opu Daeng Manambon
Robo-robo ini merupakan salah satu budaya Keraton Amantubillah Mempawah. Dan juga pada waktu bersamaan diadakan acara robok-robok masyarakat Melayu dan Bugis yang ada di Kuala Mempawah. Dan khusus masyarakat Kabupaten Pontianak seperti di Kecamatan Segedong, Kecamatan Kakap dan daerah lainnya. Dan acara robok-robok ini merupakan suatu upacara tahunan yang dilaksanakan penduduk Kabupaten Pontianak umumnya dan khususnya masyarakat Kuala Mempawah dan masuk kalender wisata. Dimana pada tahun ini acara robok-robok direncanakan mulai tanggal 5 Maret, yang dipusatkan di Pelabuhan Mempawah Terpadu.
“Acara robok-robok merupakan salah satu acara yang telah membudaya bagi masyarakat Kota Mempawah, khusunya kerabat Kraton Amantubillah Mempawah. Rangakian robok-robok ini biasanya didahului dengan ziarah ke Makam Opu Daeng Manambon, yang merupakan raja pertama Mempawah yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara, setelah itu dirangkai dengan kegiatan lainnya berupa thalilan dan dilanjutkan makan bersama,” kata Penulis Sejarah Kerajaan Mempawah, Ellyas Soren, ditemui dikediamannya, Jalan Gusti Ibrahim Syafiuddin, Gang Berkjat I, No 58, Mempawah, Minggu (17/2), kemarin.
Lanjutnya lagi, diadakannya acara robok-robok tidak lain untuk mengenang acara peringatan kedatangan Opu Daeng Manambon pada waktu yang lalu. Dan setiap tahun acara tersebut juga selalu dihadiri pejabat tingkat I dan II, dan seluruh lapisan masyarakat Kota Mempawah dan lainnya. Dan disamping acara selamatan, robok-robok tersebut dapat menambah penghasilan masyarakat untuk berjualan, bahkan pedagang dari luar Kota Mempawah juga berdatangan untuk mengadu nasib berjualan dipusat kegiatan robok-robok.
“Robok-robok juga merupakan kebiasaaan masyarakat di Kuala Mempawah, dengan datangnya bulan Syafar berarti masyarakat Kuala Memapwah dan sekitarnya sudah bersiap-siap mengadakan selamatan atau berdo’a tolak bala dengan makan-makan dipinggir laut atau di halaman rumah masing-masing. Acara ini sampai saat sekarang ini masih terpelihara dan selalu dijaga kelestariannya,” kata anggota Yayasan Penulis 66 Kalbar ini.
Dan menurut masyarakat setempat khususnya suku Melayu, Bugis dan Madura, bulan Syafar adalah bulan panas atau na’as, dan Allah SWT banyak menurunkan cobaan-cobaan. Dan secara kebetulan mungkin pada waktu itu ada kejadian bala’ yang menimpa sebagian kecil masyarakat maka berkenan dengan kepercayaan masyarakat setempat cenderung bulan Syafar adalah bulan yang na’as. Dan perayaan robok-robok ini, bukan saja terdapat di Kota Mempawah, namun seakan-akan merupakan tradisi nasional, bahkan di Malaysia juga ada hal serupa, dan orang Arab Jahiliyah juga sangat takut akan hari Rabu terakhir bulan Syafar.
“Seperti di Sumatera Barat, robok-robok disebut Basapa. Di daerah tersebut orang-orang pergi berziarah kemakam Syeikh Burhanuddin, karena orang disana menghubung-hubungkan bahwa Syeikh Burhanuddin penyebar Agama Islam disana, meninggal dunia diakhiri bulan Syafar, yang mungkin dikaitkan sama orang bahwa Opu Daeng Manambon juga meninggal dunia diakhir Syafar,” ungkapnya menecerikan kembali sejarah robok-robok yang pernah ditulisnya di buku yang berjudul Legenda dan cerita Rakyat Mempawah.
Sedangkan menurut latar belakang adanya robok-robok, ditinjau dari sifat-sifat kebudayaan masyarakat Kabupaten Pontianak khususnya Mempawah dan sekitarnya. Upacara robok-robok ini bersifat histories dan memiliki nilai sejarah karena peristiwa robok-robok merupakan peristiwa sangat penting untuk dikenang dalam sejarah Mempawah khususnya kerabat Keraton Amantubillah Mempawah, dimana asal mula mendaratnya Opu Daeng Manambon di Mempawah yang merupakan pendiri Kerajaan Mempawah.
“Acara robok-robok juga memilki nilai religiu, dimana dalam upacara robok-robok ini tentunya bersifat keagamaan khususnya agama Islam. Dimana dalam acara tersebut semua masyarakat memohon kepada Allah SWT, Tuhan Yang Esa untuk keselamatan dijauhkan dari bencana dan bersifat kepercayaan dan dari segi sosiolkultural peristiwa ini mempunyai nilai ekonomi yang dapat menarik kunjungan wisatawan baik Nusantara maupun Mancanegara,” ucapnya.

D. Robo-Robo, Aset Wisata Budaya Mempawah
Pontianak, sebagai kota terbesar di provinsi Kalimantan Barat, kota ini memiliki berbagai tujuan pariwisata yang berpotensi tinggi. Dengan Mempawah sebagai ibukota provinsinya, Pontianak juga terkenal sebagai Kota Katulistiwa dan juga dilalui Sungai Kapuas sebagai sungai terpanjang di Indonesia.
Pontianak juga terkenal dengan kekayaan kulinernya. Namun di Mempawah, terdapat sebuah aset wisata budaya yang telah menjadi salah satu kalender wisata nasional. Perayaan Robo-Robo (yang kadang dieja Robok-Robok), adalah adat masyarakat Mempawah yang saat ini tidak hanya dikenal oleh turis domestik namun juga turis-turis asing.
Perayaan ini digelar setiap hari Rabu di minggu terakhir bulan Safar menurut penanggalan Hijiriah, maka dari itu dinamakan Robo-Robo. Biasanya ritual ini dimulai selepas shalat Zuhur, dan bagi masyarakat Kota Mempawah, bulan Safar dianggap sebagai “bulan keberkahan” dan kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan.
Perayaan Robo-Robo ini merupakan napak tilas kedatangan Ompu Daeng Menambon dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah yang konon menggunakan 40 perahu Bidar. Perayaan ini menjadi penting karena kedatangan Ompu Daeng Menambon menjadi cikal-bakal masuk dan berkembangnya Islam ke Kota Mempawah. Puncak dari islamisasi pun terjadi saat adanya peralihan di Kerajaan Mempawah yang semula beragama Hindu menjadi kerjaan bercorak Islam. Pada bulan Safar tahun 1148 Hijiriah itulah, masyarakat Mempawah kedatangan rombongan tersebut.
Sesampainya di Kuala Mempawah, Ompu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya, mohon keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang kemudian dijadikan sebagai awal digelarnya hari Robo-robo, dengan melakukan makan di luar rumah bersama sanak saudara dan tetangga.
Salah satu kegiatan dalam rentetan ritual Robo-robo adalah Makan Sapraha. Yaitu, makan bersama-sama di halaman depan Istana Amantubillah menggunakan baki atau talam. Setiap baki/talam (saprah) yang berisi nasi dan lauk biasanya diperuntukan bagi empat atau lima orang. Setiap elemen masyarakat boleh bergabung di dalamnya. Pada saat makan, tidak lagi dipersoalkan status, agama, dan asal-usul seseorang.
Dalam Makan Sapraha, disediakan masakan khas istana dan daerah setempat, seperti lauk opor ayam putih, sambal serai udang, selada timun, ikan masak asam pedas, dan sop ayam putih. Sebagai penganan pencuci mulut disuguhkan kue sangon, kue jorong, bingke ubi, putuh buloh, dan pisang raja. Sementara untuk minumnya, disediakan air serbat yang berkhasiat memulihkan stamina.
Sebelumnya, dilakukan Ritual Buang-buang, yaitu melempar sesajen ke Sungai Mempawah, disertai dengan pengumandangan azan dan pembacaan doa yang dilakukan oleh Pemangku Adat Istana. Sesajen terdiri dari beras kuning, bertih, dan setanggi. Ritual yang melambangkan kemakmuran, kesejahtaeraan, dan keberkahan ini dilakukan sebagai wujud penghormatan dan pengakuan terhadap keberadaan sungai dan laut sebagai salah satu sumber penghidupan masyarakat, sera keinginan untuk hidup selaras dengan alam sekitar.
Untuk memeriahkan Ritual Robo-robo, biasanya ditampilkan aneka hiburan tradisional masyarakat setempat, seperti tundang (pantun berdendang), japin, dan lomba perahu bidar.
Lokasi prosesi Ritual Robo-robo tersebar di beberapa tempat di Kota Mempawah, seperti di muara Sungai Mempawah di Desa Kuala Mempawah, Istana Amantubillah dan Kompleks Pemakaman Sultan-sultan Mempawah di Kelurahan Pulau Pedalaman, serta Makam Ompu Daeng Menambon di Sebukit Rama, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Tidak ada pungutan biaya bagi wisatawan yang ingin menyaksikan kebudayaan ini.
Opu Daeng Menambon adalah putra ketiga Opu Daeng Rilekke yang terkenal sebagai pelaut handal dan gemar sekali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Nusantara bersama dengan anak-anaknya. Opu Daeng Rilekke sendiri adalah putra ketiga Sultan La Madusalat dari Kesultanan Luwuk, Bone, Sulawesi Selatan, yang telah menjadi Kesultanan Islam sejak tahun 1398 M. Opu Daeng Menambon beserta keluarganya pindah dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah atas permintaan Panembahan Senggauk, Raja Mempawah waktu itu. Setelah Panembahan Senggauk mangkat, Opu Daeng Menambon naik tahta. Beliau berkuasa di sana sekitar 26 tahun, yakni dari tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun 1766 M.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Awal diperingatinya Robo-robo ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon dan Putri Kesumba yang merupakan cucu Panembahan Mempawah kala itu yakni, Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan Raja Patih Gumantar dari Kerajaan Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.\Masuknya Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah, bermaksud menerima kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang bergelar Ratu Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya bergelar Pangeran Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Perayaan Robo-Robo ini merupakan napak tilas kedatangan Ompu Daeng Menambon dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah yang konon menggunakan 40 perahu Bidar. Perayaan ini menjadi penting karena kedatangan Ompu Daeng Menambon menjadi cikal-bakal masuk dan berkembangnya Islam ke Kota Mempawah. Puncak dari islamisasi pun terjadi saat adanya peralihan di Kerajaan Mempawah yang semula beragama Hindu menjadi kerjaan bercorak Islam. Pada bulan Safar tahun 1148 Hijiriah itulah, masyarakat Mempawah kedatangan rombongan tersebut.
Sesampainya di Kuala Mempawah, Ompu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya, mohon keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang kemudian dijadikan sebagai awal digelarnya hari Robo-robo, dengan melakukan makan di luar rumah bersama sanak saudara dan tetangga.
Salah satu kegiatan dalam rentetan ritual Robo-robo adalah Makan Sapraha. Yaitu, makan bersama-sama di halaman depan Istana Amantubillah menggunakan baki atau talam. Setiap baki/talam (saprah) yang berisi nasi dan lauk biasanya diperuntukan bagi empat atau lima orang. Setiap elemen masyarakat boleh bergabung di dalamnya. Pada saat makan, tidak lagi dipersoalkan status, agama, dan asal-usul seseorang.

B. Saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
















Daftar Pustaka

Ernesteven, Revita Rita Rani
Equator
Johan Wahyudi,Borneo Tribune, Mempawah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar