BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Awal diperingatinya
Robo-robo ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon
dan Putri Kesumba yang merupakan cucu Panembahan Mempawah kala itu yakni,
Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan Raja Patih Gumantar dari Kerajaan
Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.
Masuknya Opu Daeng
Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah, bermaksud menerima kekuasaan
dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang bergelar Ratu Agung
Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya bergelar Pangeran
Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Berlayarnya Opu Daeng
Manambon dari Kerajaan Matan Sukadana (Kabupaten Ketapang) diiringi sekitar 40
perahu. Saat masuk di Muara Kuala Mempawah, rombongan disambut dengan suka cita
oleh masyarakat Mempawah. Penyambutan itu dilakukan dengan memasang berbagai
kertas dan kain warna warni di rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir
sungai. Bahkan, beberapa warga pun menyongsong masuknya Opu Daeng Manambon ke
Sungai Mempawah dengan menggunakan sampan.
Terharu karena
melihat sambutan rakyat Mempawah yang cukup meriah, Opu Daeng Manambon pun
memberikan bekal makanannya kepada warga yang berada di pinggir sungai untuk
dapat dinikmati mereka juga. Karena saat kedatangannya bertepatan dengan hari
Minggu terakhir bulan Syafar, lantas rombongan tersebut menyempatkan diri turun
di Kuala Mempawah. Selanjutnya Opu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari
Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya,
mohon keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai
melakukan doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang
kemudian dijadikan sebagai awal digelarnya hari Robo-robo, yang saban tahun
rutin dilakukan warga Mempawah, dengan melakukan makan di luar rumah bersama
sanak saudara dan tetangga.
Bagi sebagian
masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini sebagai bulan
naas dan sial. Sang Pencipta dipercayai menurunkan berbagai malapetaka pada
bulan Safar. Oleh sebab itu, masyarakat yang meyakininya akan menggelar ritual
khusus agar terhindar dari “kemurkaan” bulan Safar. Ritual tersebut juga
dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur.
Namun pandangan di
atas berbeda dengan pandangan masyarakat Kota Mempawah yang menganggap bulan
Safar sebagai “bulan keberkahan” dan kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan.
Karena pada bulan Safar terjadi peristiwa penting yang sangat besar artinya
bagi masyarakat Kota Mempawah hingga saat ini. Peristiwa penting tersebut
kemudian diperingati dengan menggelar Ritual Robo-robo.
Dinamakan Robo-robo
karena ritual ini digelar setiap hari Rabu terakhir bulan Safar menurut
penanggalan Hijriah. Tujuan digelarnya ritual ini adalah untuk memperingati
kedatangan dan/atau napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon yang bergelar
Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan, Martapura, Kabupaten Ketapang,
ke Kerajaan Mempawah, Kabupaten Pontianak, pada tahun 1737 M/1448 H.
Beliau berkuasa di
sana sekitar 26 tahun, yakni dari tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun
1766 M.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Robo-robo?
2.
Bagaimana keistimewaan Robo-robo?
3.
Seperti apa mengenang kedatangan Opu Daeng
Menambong?
4.
Mengapa Robo-robo merupakan aset wisata budaya
Mempawah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Robo-Robo
Awal diperingatinya
Robo-robo ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon
dan Putri Kesumba yang merupakan cucu Panembahan Mempawah kala itu yakni,
Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan Raja Patih Gumantar dari Kerajaan
Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.\Masuknya
Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah, bermaksud menerima
kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang bergelar Ratu
Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya bergelar
Pangeran Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Berlayarnya Opu Daeng
Manambon dari Kerajaan Matan Sukadana (Kabupaten Ketapang) diiringi sekitar 40
perahu. Saat masuk di Muara Kuala Mempawah, rombongan disambut dengan suka cita
oleh masyarakat Mempawah. Penyambutan itu dilakukan dengan memasang berbagai kertas
dan kain warna warni di rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir sungai.
Bahkan, beberapa warga pun menyongsong masuknya Opu Daeng Manambon ke Sungai
Mempawah dengan menggunakan sampan.
Terharu karena
melihat sambutan rakyat Mempawah yang cukup meriah, Opu Daeng Manambon pun
memberikan bekal makanannya kepada warga yang berada di pinggir sungai untuk
dapat dinikmati mereka juga. Karena saat kedatangannya bertepatan dengan hari
Minggu terakhir bulan Syafar, lantas rombongan tersebut menyempatkan diri turun
di Kuala Mempawah. Selanjutnya Opu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari
Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya,
mohon keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai
melakukan doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang
kemudian dijadikan sebagai awal digelarnya hari Robo-robo, yang saban tahun
rutin dilakukan warga Mempawah, dengan melakukan makan di luar rumah bersama
sanak saudara dan tetangga.
Bagi sebagian masyarakat
di beberapa daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini sebagai bulan naas dan
sial. Sang Pencipta dipercayai menurunkan berbagai malapetaka pada bulan Safar.
Oleh sebab itu, masyarakat yang meyakininya akan menggelar ritual khusus agar
terhindar dari “kemurkaan” bulan Safar. Ritual tersebut juga dimaksudkan
sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur.
Namun pandangan di
atas berbeda dengan pandangan masyarakat Kota Mempawah yang menganggap bulan
Safar sebagai “bulan keberkahan” dan kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan.
Karena pada bulan Safar terjadi peristiwa penting yang sangat besar artinya
bagi masyarakat Kota Mempawah hingga saat ini. Peristiwa penting tersebut
kemudian diperingati dengan menggelar Ritual Robo-robo.
Dinamakan Robo-robo
karena ritual ini digelar setiap hari Rabu terakhir bulan Safar menurut
penanggalan Hijriah. Tujuan digelarnya ritual ini adalah untuk memperingati
kedatangan dan/atau napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon yang bergelar
Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan, Martapura, Kabupaten Ketapang,
ke Kerajaan Mempawah, Kabupaten Pontianak, pada tahun 1737 M/1448 H.
Opu Daeng Menambon
adalah putra ketiga Opu Daeng Rilekke yang terkenal sebagai pelaut handal dan
gemar sekali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Nusantara bersama
dengan anak-anaknya. Opu Daeng Rilekke sendiri adalah putra ketiga Sultan La
Madusalat dari Kesultanan Luwuk, Bone, Sulawesi Selatan, yang telah menjadi
Kesultanan Islam sejak tahun 1398 M. Opu Daeng Menambon beserta keluarganya pindah
dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah atas permintaan Panembahan Senggauk,
Raja Mempawah waktu itu. Setelah Panembahan Senggauk mangkat, Opu Daeng
Menambon naik tahta. Beliau berkuasa di sana sekitar 26 tahun, yakni dari tahun
1740 M sampai beliau wafat pada tahun 1766 M.
B. Keistimewaan Robo-Robo
Sebagai sebuah
peristiwa budaya, Ritual Robo-robo sarat dengan simbol-simbol yang mengandung
nilai-nilai historis dan kultural. Ritual Robo-robo merupakan napak tilas
kedatangan Opu Daeng Menambon beserta pengikutnya dari Kerajaan Matan ke
Kerajaan Mempawah yang konon menggunakan 40 Perahu Bidar. Kedatangan Opu Daeng
Menambon beserta pengikutnya ini menjadi cikal-bakal masuk dan berkembangnya
agama Islam ke Kota Mempawah. Perlahan-lahan, proses islamisasi pun terjadi dan
puncaknya adalah beralihnya Kerajaan Mempawah yang semula beragama Hindu
menjadi kerajaan bercorak Islam.
Pengumandangan azan
dan pembacaan doa yang dilakukan oleh Pemangku Adat Istana Amantubillah sebelum
dimulainya Ritual Buang-buang menandakan bahwa dalam prosesi Ritual Robo-robo
juga terdapat nilai-nilai religius. Sesajennya yang terdiri dari beras kuning,
bertih, dan setanggi pun sarat dengan makna-makna tertentu. Nasi kuning dan
bertih melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan, sedangkan setanggi mengandung
makna keberkahan. Dalam Ritual Buang-buang tidak semata-mata penghormatan dan
pengakuan terhadap keberadaan sungai dan laut sebagai salah satu sumber
penghidupan masyarakat, tapi juga tersirat keinginan untuk hidup selaras dengan
alam sekitar.
Ritual ini biasanya
dimulai selepas shalat Zuhur, di mana raja Istana Amantubillah beserta para
petinggi istana bertolak dari Desa Benteng menggunakan Perahu Lancang Kuning
dan Perahu Bidar. Perahu Lancang Kuning khusus digunakan oleh raja, sedangkan
Perahu Bidar diperuntukan bagi petinggi istana. Mereka akan berlayar selama
satu jam menuju muara Kuala/Sungai Mempawah yang terletak di Desa Kuala
Mempawah, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Sesampainya di muara
Sungai Mempawah, seorang kerabat istana yang menjabat Pemangku Adat
mengumandangkan azan dan membaca doa talak bala (talak balak). Kemudian
dilanjutkan dengan Ritual Buang-buang, yaitu melempar sesajen ke Sungai
Mempawah. Setelah itu, raja beserta para petinggi istana merapat ke tepi Sungai
Mempawah untuk bersiap-siap melaksanakan Makan Saprahan di halaman depan Istana
Amantubillah. Gambaran di atas merupakan sebagian dari rangkaian prosesi Ritual
Robo-robo.
Kebersamaan dan
silaturahmi antar berbagai elemen masyarakat adalah nilai-nilai lain yang
terkandung dalam prosesi Ritual Robo-robo. Hal ini, misalnya, terlihat pada
kegiatan Makan Saprahan. Makan Saprahan adalah makan bersama-sama di halaman
depan Istana Amantubillah menggunakan baki atau talam. Setiap baki/talam
(saprah) yang berisi nasi dan lauk biasanya diperuntukan bagi empat atau lima
orang. Dalam Makan Saprahan keakraban terjalin, suasana mencair, dan
sekat-sekat melebur jadi satu. Pada saat makan, tidak lagi dipersoalkan status,
agama, dan asal-usul seseorang.
Hal lain yang tak
kalah menariknya dalam Ritual Robo-robo adalah dihidangkannya berbagai masakan
khas istana dan daerah setempat yang mungkin tidak lagi populer di
tengah-tengah masyarakat, seperti lauk opor ayam putih, sambal serai udang,
selada timun, ikan masak asam pedas, dan sop ayam putih. Sebagai penganan
pencuci mulut disuguhkan kue sangon, kue jorong, bingke ubi, putuh buloh, dan
pisang raja. Sementara untuk minumnya, disediakan air serbat yang berkhasiat
memulihkan stamina.
Untuk memeriahkan Ritual Robo-robo,
biasanya ditampilkan aneka hiburan tradisional masyarakat setempat, seperti
tundang (pantun berdendang), japin, dan lomba perahu bidar.
C. Mengenang
Kedatangan Opu Daeng Manambon
Robo-robo ini merupakan salah satu budaya Keraton Amantubillah Mempawah.
Dan juga pada waktu bersamaan diadakan acara robok-robok masyarakat Melayu dan
Bugis yang ada di Kuala Mempawah. Dan khusus masyarakat Kabupaten Pontianak
seperti di Kecamatan Segedong, Kecamatan Kakap dan daerah lainnya. Dan acara
robok-robok ini merupakan suatu upacara tahunan yang dilaksanakan penduduk
Kabupaten Pontianak umumnya dan khususnya masyarakat Kuala Mempawah dan masuk
kalender wisata. Dimana pada tahun ini acara robok-robok direncanakan mulai
tanggal 5 Maret, yang dipusatkan di Pelabuhan Mempawah Terpadu.
“Acara robok-robok merupakan salah satu acara yang
telah membudaya bagi masyarakat Kota Mempawah, khusunya kerabat Kraton
Amantubillah Mempawah. Rangakian robok-robok ini biasanya didahului dengan
ziarah ke Makam Opu Daeng Manambon, yang merupakan raja pertama Mempawah yang
bergelar Pangeran Mas Surya Negara, setelah itu dirangkai dengan kegiatan
lainnya berupa thalilan dan dilanjutkan makan bersama,” kata Penulis Sejarah
Kerajaan Mempawah, Ellyas Soren, ditemui dikediamannya, Jalan Gusti Ibrahim
Syafiuddin, Gang Berkjat I, No 58, Mempawah, Minggu (17/2), kemarin.
Lanjutnya lagi, diadakannya acara robok-robok tidak
lain untuk mengenang acara peringatan kedatangan Opu Daeng Manambon pada waktu
yang lalu. Dan setiap tahun acara tersebut juga selalu dihadiri pejabat tingkat
I dan II, dan seluruh lapisan masyarakat Kota Mempawah dan lainnya. Dan
disamping acara selamatan, robok-robok tersebut dapat menambah penghasilan
masyarakat untuk berjualan, bahkan pedagang dari luar Kota Mempawah juga berdatangan
untuk mengadu nasib berjualan dipusat kegiatan robok-robok.
“Robok-robok juga merupakan kebiasaaan masyarakat di
Kuala Mempawah, dengan datangnya bulan Syafar berarti masyarakat Kuala Memapwah
dan sekitarnya sudah bersiap-siap mengadakan selamatan atau berdo’a tolak bala
dengan makan-makan dipinggir laut atau di halaman rumah masing-masing. Acara
ini sampai saat sekarang ini masih terpelihara dan selalu dijaga
kelestariannya,” kata anggota Yayasan Penulis 66 Kalbar ini.
Dan menurut masyarakat setempat khususnya suku
Melayu, Bugis dan Madura, bulan Syafar adalah bulan panas atau na’as, dan Allah
SWT banyak menurunkan cobaan-cobaan. Dan secara kebetulan mungkin pada waktu
itu ada kejadian bala’ yang menimpa sebagian kecil masyarakat maka berkenan
dengan kepercayaan masyarakat setempat cenderung bulan Syafar adalah bulan yang
na’as. Dan perayaan robok-robok ini, bukan saja terdapat di Kota Mempawah,
namun seakan-akan merupakan tradisi nasional, bahkan di Malaysia juga ada hal
serupa, dan orang Arab Jahiliyah juga sangat takut akan hari Rabu terakhir
bulan Syafar.
“Seperti di Sumatera Barat, robok-robok disebut
Basapa. Di daerah tersebut orang-orang pergi berziarah kemakam Syeikh
Burhanuddin, karena orang disana menghubung-hubungkan bahwa Syeikh Burhanuddin penyebar
Agama Islam disana, meninggal dunia diakhiri bulan Syafar, yang mungkin
dikaitkan sama orang bahwa Opu Daeng Manambon juga meninggal dunia diakhir
Syafar,” ungkapnya menecerikan kembali sejarah robok-robok yang pernah
ditulisnya di buku yang berjudul Legenda dan cerita Rakyat Mempawah.
Sedangkan menurut latar belakang adanya robok-robok,
ditinjau dari sifat-sifat kebudayaan masyarakat Kabupaten Pontianak khususnya
Mempawah dan sekitarnya. Upacara robok-robok ini bersifat histories dan
memiliki nilai sejarah karena peristiwa robok-robok merupakan peristiwa sangat
penting untuk dikenang dalam sejarah Mempawah khususnya kerabat Keraton
Amantubillah Mempawah, dimana asal mula mendaratnya Opu Daeng Manambon di
Mempawah yang merupakan pendiri Kerajaan Mempawah.
“Acara robok-robok juga memilki nilai religiu,
dimana dalam upacara robok-robok ini tentunya bersifat keagamaan khususnya
agama Islam. Dimana dalam acara tersebut semua masyarakat memohon kepada Allah
SWT, Tuhan Yang Esa untuk keselamatan dijauhkan dari bencana dan bersifat
kepercayaan dan dari segi sosiolkultural peristiwa ini mempunyai nilai ekonomi
yang dapat menarik kunjungan wisatawan baik Nusantara maupun Mancanegara,”
ucapnya.
D. Robo-Robo, Aset Wisata Budaya Mempawah
Pontianak, sebagai
kota terbesar di provinsi Kalimantan Barat, kota ini memiliki berbagai tujuan
pariwisata yang berpotensi tinggi. Dengan Mempawah sebagai ibukota provinsinya,
Pontianak juga terkenal sebagai Kota Katulistiwa dan juga dilalui Sungai Kapuas
sebagai sungai terpanjang di Indonesia.
Pontianak juga
terkenal dengan kekayaan kulinernya. Namun di Mempawah, terdapat sebuah aset
wisata budaya yang telah menjadi salah satu kalender wisata nasional. Perayaan
Robo-Robo (yang kadang dieja Robok-Robok), adalah adat masyarakat Mempawah yang
saat ini tidak hanya dikenal oleh turis domestik namun juga turis-turis asing.
Perayaan ini digelar
setiap hari Rabu di minggu terakhir bulan Safar menurut penanggalan Hijiriah,
maka dari itu dinamakan Robo-Robo. Biasanya ritual ini dimulai selepas shalat
Zuhur, dan bagi masyarakat Kota Mempawah, bulan Safar dianggap sebagai “bulan
keberkahan” dan kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan.
Perayaan Robo-Robo
ini merupakan napak tilas kedatangan Ompu Daeng Menambon dari Kerajaan Matan ke
Kerajaan Mempawah yang konon menggunakan 40 perahu Bidar. Perayaan ini menjadi
penting karena kedatangan Ompu Daeng Menambon menjadi cikal-bakal masuk dan
berkembangnya Islam ke Kota Mempawah. Puncak dari islamisasi pun terjadi saat
adanya peralihan di Kerajaan Mempawah yang semula beragama Hindu menjadi
kerjaan bercorak Islam. Pada bulan Safar tahun 1148 Hijiriah itulah, masyarakat
Mempawah kedatangan rombongan tersebut.
Sesampainya di Kuala
Mempawah, Ompu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu
Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya, mohon
keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan
doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang kemudian
dijadikan sebagai awal digelarnya hari Robo-robo, dengan melakukan makan di
luar rumah bersama sanak saudara dan tetangga.
Salah satu kegiatan
dalam rentetan ritual Robo-robo adalah Makan Sapraha. Yaitu, makan bersama-sama
di halaman depan Istana Amantubillah menggunakan baki atau talam. Setiap
baki/talam (saprah) yang berisi nasi dan lauk biasanya diperuntukan bagi empat
atau lima orang. Setiap elemen masyarakat boleh bergabung di dalamnya. Pada
saat makan, tidak lagi dipersoalkan status, agama, dan asal-usul seseorang.
Dalam Makan Sapraha,
disediakan masakan khas istana dan daerah setempat, seperti lauk opor ayam
putih, sambal serai udang, selada timun, ikan masak asam pedas, dan sop ayam
putih. Sebagai penganan pencuci mulut disuguhkan kue sangon, kue jorong, bingke
ubi, putuh buloh, dan pisang raja. Sementara untuk minumnya, disediakan air
serbat yang berkhasiat memulihkan stamina.
Sebelumnya, dilakukan
Ritual Buang-buang, yaitu melempar sesajen ke Sungai Mempawah, disertai dengan
pengumandangan azan dan pembacaan doa yang dilakukan oleh Pemangku Adat Istana.
Sesajen terdiri dari beras kuning, bertih, dan setanggi. Ritual yang
melambangkan kemakmuran, kesejahtaeraan, dan keberkahan ini dilakukan sebagai
wujud penghormatan dan pengakuan terhadap keberadaan sungai dan laut sebagai
salah satu sumber penghidupan masyarakat, sera keinginan untuk hidup selaras
dengan alam sekitar.
Untuk memeriahkan
Ritual Robo-robo, biasanya ditampilkan aneka hiburan tradisional masyarakat
setempat, seperti tundang (pantun berdendang), japin, dan lomba perahu bidar.
Lokasi prosesi Ritual
Robo-robo tersebar di beberapa tempat di Kota Mempawah, seperti di muara Sungai
Mempawah di Desa Kuala Mempawah, Istana Amantubillah dan Kompleks Pemakaman
Sultan-sultan Mempawah di Kelurahan Pulau Pedalaman, serta Makam Ompu Daeng
Menambon di Sebukit Rama, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat,
Indonesia. Tidak ada pungutan biaya bagi wisatawan yang ingin menyaksikan
kebudayaan ini.
Opu Daeng Menambon
adalah putra ketiga Opu Daeng Rilekke yang terkenal sebagai pelaut handal dan
gemar sekali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Nusantara bersama
dengan anak-anaknya. Opu Daeng Rilekke sendiri adalah putra ketiga Sultan La
Madusalat dari Kesultanan Luwuk, Bone, Sulawesi Selatan, yang telah menjadi
Kesultanan Islam sejak tahun 1398 M. Opu Daeng Menambon beserta keluarganya
pindah dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah atas permintaan Panembahan
Senggauk, Raja Mempawah waktu itu. Setelah Panembahan Senggauk mangkat, Opu
Daeng Menambon naik tahta. Beliau berkuasa di sana sekitar 26 tahun, yakni dari
tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun 1766 M.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Awal diperingatinya
Robo-robo ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon
dan Putri Kesumba yang merupakan cucu Panembahan Mempawah kala itu yakni,
Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan Raja Patih Gumantar dari Kerajaan
Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.\Masuknya
Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah, bermaksud menerima
kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang bergelar Ratu
Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya bergelar
Pangeran Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Perayaan Robo-Robo
ini merupakan napak tilas kedatangan Ompu Daeng Menambon dari Kerajaan Matan ke
Kerajaan Mempawah yang konon menggunakan 40 perahu Bidar. Perayaan ini menjadi
penting karena kedatangan Ompu Daeng Menambon menjadi cikal-bakal masuk dan berkembangnya
Islam ke Kota Mempawah. Puncak dari islamisasi pun terjadi saat adanya
peralihan di Kerajaan Mempawah yang semula beragama Hindu menjadi kerjaan
bercorak Islam. Pada bulan Safar tahun 1148 Hijiriah itulah, masyarakat
Mempawah kedatangan rombongan tersebut.
Sesampainya di Kuala
Mempawah, Ompu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu
Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya, mohon
keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan doa,
kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang kemudian
dijadikan sebagai awal digelarnya hari Robo-robo, dengan melakukan makan di
luar rumah bersama sanak saudara dan tetangga.
Salah satu kegiatan
dalam rentetan ritual Robo-robo adalah Makan Sapraha. Yaitu, makan bersama-sama
di halaman depan Istana Amantubillah menggunakan baki atau talam. Setiap
baki/talam (saprah) yang berisi nasi dan lauk biasanya diperuntukan bagi empat
atau lima orang. Setiap elemen masyarakat boleh bergabung di dalamnya. Pada
saat makan, tidak lagi dipersoalkan status, agama, dan asal-usul seseorang.
B. Saran
Demikian yang dapat penulis paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan–kesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca yang budiman pada umumnya.
Daftar Pustaka
Ernesteven, Revita Rita Rani
Equator
Johan
Wahyudi,Borneo Tribune, Mempawah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar