Tumpang Negeri
A.
Asal-usul Tumpang Negeri
Bencana alam, seperti banjir, menurut
masyarakat yang hidup di sepanjang aliran Sungai Landak disebabkan oleh
kemarahan mahluk gaib kepada masyarakat. Kemarahan tersebut terjadi karena
manusia telah merusak alam dan bersikap kurang bersahabat terhadap para mahluk
yang hidup di alam gaib. Dengan kata lain, agar tidak terjadi bencana, maka
masyarakat harus menjaga agar mahluk gaib tersebut tidak marah. Salah satu cara
yang dilakukan oleh masyarakat Landak untuk menghindari kemarahan mahluk-mahluk
gaib tersebut adalah dengan melaksanakan Upacara Tumpang Negeri.
Sebagai kegiatan yang dilakukan untuk “merayu” mahluk gaib agar tidak
marah dan menimbulkan bencana, pelaksanaan Upacara Tumpang Negeri dipenuhi hal-hal mistis dan
simbolis. Misalnya ayam yang digunakan untuk upacara, harus dari jenis ayam
kampung. Penggunaan ayam kampung merupakan simbol kemandirian. Ayam kampung
selalu berusaha untuk mencari makan sepanjang hari, semenjak subuh hingga hari
menjelang petang. Begitupun manusia dalam menjalani hidupnya, harus berusaha
mandiri. Tidak perlu menunggu disantuni, atau mengharap bantuan orang lain.
Selain ayam, benda lain yang digunakan adalah boneka berbentuk manusia. Boneka
ini merupakan simbol mahluk gaib yang diminta (diusir) untuk pergi. Untuk
barang-barang dan peralatan upacara akan dijelaskan kemudian.
Upacara
Tumpang Negeri biasanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yaitu pada akhir
atau awal tahun dengan mempertimbangkan kondisi alam. Jika kondisi alam sedang
kurang bersahabat dengan manusia, misalnya hujan turun dengan intensitas besar
atau sangat sedikit sehingga dapat menyengsarakan manusia, maka pada saat
itulah Upacara Tumpang Negeri dilaksanakan. Mengapa harus melaksanakan Upacara
Tumpang Negeri? Kondisi alam yang kurang atau tidak bersahabat dengan manusia,
menurut keyakinan masyarakat Landak karena mahluk yang menguasai alam tersebut
sedang marah kepada manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan upacara agar
mahluk gaib tersebut tidak marah dan menyengsarakan manusia. Dengan demikian,
Upacara Tumpang Negeri bersifat tolak bala, yaitu upacara yang dilakukan agar
manusia terhindar dari segala macam bencana.
Sebagai
upacara tolak bala, Upacara Tumpang Negeri harus dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dan teliti, dimulai dari mempersiapkan bahan-bahannya hingga
pelaksanaannya. Kecerobohan tidak saja dapat menggagalkan tujuan upacara,
tetapi juga dapat mendatangkan bencana. Banjir Bandang yang menerjang daerah
Landak pada tahun itu misalnya, menurut penuturan Gusti Suryansyah karena
tumpang yang diantar ke sungai digantung terlalu tinggi.
”Pelaksanakan Tumpang Negeri harus
dilakukan secara cermat dan hati-hati. Jika tidak, bukan saja tujuan upacara
tidak tercapai, tetapi juga dapat mendatngkan bencana bencana. Banjir yang
melanda kawasan Landak pada tahun itu, merupakan akibat dari kecerobohan
orang yang mengantar Tumpang Negeri ke sungai Landak. Tumpang itu seharusnya
digantung cukup rendah, tetapi oleh salah seorang pengantar digantung cukup
tinggi. Entah tujuannya apa. Tidak sampai satu minggu, terjadi hujan besar.
Banjir bandang melanda kawasan Landak, dan pemukiman penduduk banyak yang
terendam. Setelah banjir selesai, baru kita mengetahui bahwa banjir yang
terjadi setinggi tumpang yang digantung di atas sungai. Memang banyak orang
yang tidak percaya bahwa banjir bandang terjadi karena tumpang digantung
terlalu tinggi, tetapi bagi kami yang mengalami, peristiwa itu sungguh nyata.
Bagi sebagian masyarakat, Upacara
Tumpang Negeri yang dilakukan oleh masyarakat Landak dianggap sebagai perbuatan
syirik, yaitu menyekutukan Allah. Pendapat tersebut muncul karena mereka
beranggapan bahwa Upacara Tumpang Negeri dilaksanakan sebagai bentuk permohonan
keselamatan kepada mahluk selain Allah. Terkait hal tersebut, Gusti Suryansyah
menjelaskan sebagai berikut.
”Kita meminta kepada Tuhan yang berkuasa
atas mahluk-mahluk, supaya urat nadi kehidupan ini tidak diganggu,”
kata Suryansyah. Jadi, bukan meminta kepada alam gaib. Bila meminta pada alam
gaib, sifatnya menjadi syirik dan menyekutukan Tuhan. Itulah makna filosofinya.
Tumpang Negeri mempunyai dua dimensi, yaitu permohonan
agar masyarakat Landak terhindar dari segala macam balak, bencana alam,
penyakit, dan permohonan supaya tahun mendatang kehidupan semakin lebih baik
dan sejahtera.
Pelaksanaan Upacara Tumpang Negeri pertama kali dilakukan
pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar
(1472-1542), Sultan Landak pertama yang memeluk Islam. Nama Abdul Kahar
merupakan gelar yang digunakan oleh pangeran Ismahayana setelah ia memeluk
agama Islam. Pangeran Ismahayana yang mempunyai nama kecil Abhiseka Sultan
Dipati Karang Tanjung merupakan putra dari Ratu Sang Nata Pulang Pali VII dan
Putri Dara Hitam (sejarah lebih lengkap tentang kerajaan Ismahayana Landak
dapat dilihat di. Oleh karena itulah, dalam pelaksanaan Upacara Tumpang Negeri
selalu diawali dengan ziarah ke makam Sultan Abdul Kahar.
Munculnya anggapan bahwa Upacara
Tumpang Negeri dilaksanakan pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Kahar, nampaknya didasarkan kepada dua hal, yaitu: pertama, yang menjadi
titik sentral upacara ini adalah sungai Landak, yaitu sungai yang berada di
depan komplek kerajaan Ismahayana Landak. Kerajaan Landak berada di pertemuan
Sungai Landak dan Sungai Mungguk ketika berada di bawah kekuasaan Sultan Abdul
Kahar. Berdasarkan pertimbangan inilah, nampaknya, muncul pandangan Upacara
Tumpang Negeri kali pertama diadakan pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar.
Kedua, adanya doa-doa yang menggunakan doa-doa Islam, yaitu doa tolak
bala dan doa selamat yang semuanya berbahasa Arab. Penggunaan doa-doa Islam
berbahasa Arab cukup memberikan landasan bagi munculnya pendapat bahwa Upacara
Tumpang Negeri diadakan pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar
karena raja-raja Landak sebelumnya semuanya beragama Hindu.
Hanya saja, jika dilakukan anlisis
lebih jauh terhadap Upacara Tumpang Negeri, khususnya pada ritual dan tata cara
pelaksanaannya, maka bisa jadi anggapan bahwa upacara ini dilaksanakan pertama
kali pada pemerintahan Sultan Abdul Kahar perlu dikaji ulang. Ada dua alasan
yang mendasari keraguan tersebut. Pertama, Upacara Tumpang Negeri
merupakan upacara yang bersifat lokal dan tidak dikenal dalam kalender
hari-hari besar Islam. Kedua, tata cara ritual Tumpang Negeri tidak
dikenal dalam Islam. Hal ini misalnya dapat dilihat pada penggunaan
mantra-mantra dalam bahasa lokal, serta penggunaan sesajian. Berdasarkan kedua
hal tersebut, maka ritual Tumpang Negeri nampaknya telah ada sebelum Islam
masuk ke daerah Landak. Penggunaan doa-doa berbahasa Arab dalam Upacara Tumpang
Negeri bisa saja merupakan bentuk akomodasi terhadap masuknya agama baru,
Islam. Dengan kata lain, masyarakat Landak memahami Islam dengan menggunakan
paradigma lokal.
B.
Tempat dan Waktu Pelaksanaan Tumpang Negeri
Upacara Tumpang Negeri dilaksanakan
sekali dalam setahun, yaitu pada awal atau akhir tahun. Pertimbangan utama yang
harus diperhatikan dalam menentukan kapan upacara tersebut harus dilakukan
adalah kondisi alam, misalnya ketika terjadi hujan yang terus-menerus, atau
ketika terjadi kekeringan. Sedangkan tempat pelaksanaannya dipusatkan di Sungai
Landak. Tentang penentuan waktu dan tempat pelaksanaan upacara ini, Pangeran
Ratu Keraton Ismahayana Landak, Gusti Suryansyah, menjelaskan sebagai berikut:
“Untuk menentukan kapan
Tumpang Negeri dilaksanakan, kita melihat kondisi alam, misalnya ketika curah
hujan sangat tinggi, atau ketika terjadi kekeringan. Hal ini dilakukan agar
curah hujan yang tinggi tidak menimbulkan Banjir, sehingga tidak menyengsarakan
masyarakat. Demikian juga jika terjadi kekeringan, maka Tumpang Negeri
dilaksanakan. Tujuannya adalah agar segera turun hujan, dan masyarakat tidak
kelaparan karena kekeringan.”
Selama beberapa tahun, pelaksanaan
Upacara Tumpang Negeri pernah dilaksanakan setiap tanggal 24 Januari, yaitu
bertepatan dengan tanggal penobatan Pangeran Ratu Gusti Suryansyah sebagai Raja
Keraton Ismahayana Landak. Menurut Suryansyah, pelaksanaan Upacara Tumpang
Negeri pada tanggal 24 Januari kurang tepat, karena kurang sesuai dengan tujuan
dilaksanakannya upacara ini. Ia menjelaskan sebagai berikut:
“Upacara Tumpang Negeri
pernah kita laksanakan bersamaan dengan tanggal pelantikan saya sebagai Raja
Keraton Ismahayana Landak, yaitu tanggal 24 Januari. Pelaksanaan Tumpang Negeri
bersamaan dengan ulang tahun penobatan saya sebagai raja sebenarnya kurang
tepat, karena keduanya mempunyai substansi nilai yang berbeda. Peringatan
pelantikan sebagai raja merupakan ungkapan syukur kepada Allah SWT, sedangkan
Upacara Tumpang Negeri merupakan permohonan agar masyarakat terhindar dari
bencana. Selain itu, secara prinsip waktu pelaksanaan upacara ini didasarkan
kepada tanda-tanda alam, sehingga waktunya bisa berubah-ubah, bukan
kepada tanggal penobatan raja yang cenderung tetap.”
Pelaksanaan tumpang negeri
ini dilaksanakan pada pukul empat sore, sebelum upacara dilaksanakan beberapa
masyarakat Desa Raja pada pagi hari membuat tumpang dan ada juga melakukan
ziarah ke makam. Menurut masyarakat setempat membuat tumpang harus di pagi hari,
tidak boleh membuat tumpang beberapa hari sebelumnya. Karena tidak boleh
berlama- lama kosong atau tidak isi ibarat kata pepatah datang tanpa di undang
sebelun upacara.
Hal ini disebabkan karena upacara keagamaan selalu
merupakan perbuatan keramat, sehingga tempat-tempat di mana upacara di
selenggarakan saat upacara dilakukan. Benda- benda yang menjadi alat- alat
upacara juga dianggap sebagai tempat saat benda-benda dan orang keramat
Adapun tentang tempat pelaksanaan
Tumpang Negeri yang dipusatkan di Sungai Landak, lebih lanjut Suryansyah
menjelaskan sebagai berikut:
“Sejak dahulu kala, Sungai
Landak merupakan urat nadi kehidupan masyarakat di daerah ini. Sungai Landak
tidak saja sebagai jalur lintas, tetapi juga menjadi sumber penghidupan
masyarakat Landak. Selain itu, perlu juga disadari bahwa sungai terkadang juga
menjadi sumber penderitaan, misalnya ketika terjadi banjir bandang. Oleh karena
itu, masyarakat Landak berupaya agar sungai senantiasa terus menjadi sumber
kebaikan, dan tidak menjadi sumber malapetaka. Salah satu cara yang kami
lakukan agar sungai tetap menjadi sumber kebaikan adalah dengan melakukan
Upacara Tumpang Negeri.”
C.
Bahan-bahan dan Peralatan Tumpang Negeri
Sesuai dengan namanya, maka benda
utama yang harus ada dalam upacara ini adalah tumpang. Tumpang yang harus
disediakan ada dua macam, yaitu tumpang berbentuk keranjang dan tumpang
berbentuk kapal. Tumpang berbentuk keranjang dibuat dari anyaman daun kelapa
yang masih muda. Sedangkan tumpang berbentuk kapal atau yang lebih dikenal
dengan sebutan tumpang agung dibuat dari kayu meranti dengan bentuk menyerupai
miniatur kapal atau rakit.
Tumpang berbentuk keranjang diisi
dengan barang-barang sebagai berikut:
· Ayam
kampung jantan yang telah dipanggang. Ayam kampung digunakan untuk mengingatkan
semua orang Landak agar hidup secara mandiri dan tidak minta dikasihani,
sebagaimana ditunjukkan oleh ayam kampung. Ayam kampung setiap hari, sejak pagi
hari sampai menjelang malam, mencari makan sendiri. Dia tidak bergantung kepada
ayam yang lain. Sedangkan jenis ayam berkelamin jantan digunakan untuk
menggugah semangat setiap orang Landak. Setiap pagi, ayam kampung jantan selalu
berkokok menyambut pagi dan membangunkan semua mahluk yang ada di muka bumi
untuk kembali mencari nafkah.
· Beberapa macam jajanan pasar. Jajanan
pasar merupakan simbol dari kesejateraan.
· Pulut aneka warna. Nasi pulut merupakan
simbol kerekatan sosial antarindividu, dan keselarasan hidup antara manusia
dengan alam. Setiap anggota masyarakat harus menjadi satu-kesatuan sebagaimana
nasi pulut, kenyal dan tidak kaku. Demikian juga antara manusia dan alam, harus
menjadi satu-kesatuan yang sinergis.
· Telur ayam kampung. Telur merupakan
simbol kebersihan hati dan kebulatan tekad. Selain itu, telur juga sebagai
simbol bahwa manusia berada dalam perlindungan yang Maha Kuasa, sebagaimana
kuning dan putih telur yang dilindungi oleh cangkang telur yang keras.
· Setanggi
wangi dan dupa menyan. Wewangian dan asap dupa digunakan untuk memanggil dan
mengumpulkan mahluk mahluk halus.
Sedangkan di dalam tumpang agung,
selain benda-benda yang di sebutkan di atas, juga ditambah dengan bahan-bahan
sebagai berikut: (Wawancara dengan Gusti Suryansyah).
· Anak
ayam.
· Kandang
ayam.
· Beras dan segala macam bumbu dapur.
· Patung laki-laki dan perempuan yang
dibuat dari tepung.
Selain
bahan-bahan dan peralatan untuk Tumpang Negeri di atas, ada bahan-bahan lain
yang dibutuhkan, yaitu peralatan dan bahan-bahan untuk upacara buang-buang.
Upacara ini merupakan ritual pembuka Upacara Tumpang Negeri. Peralatan dan
bahan-bahan yang diperlukan untuk ritual ini antara lain:
· Sebutir
telur ayam kampung.
· Beberapa
buah paku. Benda ini sebagai simbol keteguhan hati.
· Beberapa
lembar daun sirih. Daun sirih sebagai lambang kesejahteraan.
· Sebutir
buah pinang. Warnanya yang kuning seperti emas digunakan sebagai simbol
kemulyaan dan kesejahteraan.
· Lilin.
Cahaya lilin diharapkan menjadi penerangan mahluk halus yang dilarung (dibuang)
ke Sungai Landak.
D.
Prosesi Upacara Tumpang Negeri
1.
Persiapan
Tahap
ini merupakan bagian paling awal dari tahapan pelaksanaan Upacara Tumpang
Negeri. Sebagaimana disebutkan pada bagian awal tulisan ini, bahwa pelaksanaan
Upacara Tumpang Negeri diadakan untuk menyelaraskan kembali hubungan manusia
dengan alam, maka upacara ini dilaksanakan ketika terjadi fenomena alam yang
dapat menyebabkan kesengsaran dan penderitaan, seperti banjir atau kekeringan.
Terjadinya
banjir atau kekeringan merupakan pertanda adanya kekurang-selarasan hubungan
antara manusia dan alam. Melihat fenomena tersebut, raja dengan meminta
pendapat dari para tokoh adat, meminta kepada segenap keluarga keraton dan
segenap masyarakat untuk segera mengadakan Upacara Tumpang Negeri.
Mendapat
titah dari raja, para sesepuh adat berkumpul untuk memperbincangkan hal-hal
yang diperlukan dalam pelaksanaan Upacara Tumpang Negeri, khususnya tentang
kapan waktu pelaksanaannya dan dari mana pembiayaannya didapatkan. Terkait
persoalan penentuan waktu pelaksanaan upacara, Gusti Suryansyah menjelaskan
sebagai berikut:
”Jika hujan terjadi secara terus
menerus, sehingga memungkinkan terjadinya banjir, atau malah hujan tidak pernah
turun, sehingga terjadi kekeringan, maka saat itulah Upacara Tumpang Negeri
harus dilaksanakan. Melalui upacara ini, kita mohon kepada Allah agar
masyarakat Landak terhindar dari bencana bajir, walaupun terjadi hujan secara
terus menerus. Demikian juga jika hujan tidak pernah turun, maka melalui
upacara ini kita mohon agar tidak kelaparan.”
Sedangkan
pembiayaan Upacara Tumpang Negeri ditanggung oleh raja, kerabat keraton, dan
masyarakat umum. Pembiayaan juga terkadang mendapat bantuan dari pemerintah
daerah, sebagaiamana diungkapkan oleh Gusti Suryansyah.
”Pada zaman dahulu, pembiayaan Upacara
Tumpang Negeri ditanggung bersama oleh raja, keluarga keraton, dan rakyat. Hal
ini menjadi bukti bahwa Upacara Tumpang Negeri tidak hanya milik raja dan
keluarga kerajaan, tetapi juga masyarakat umum. Selain itu, pembiayaan secara bersama-sama
upacara ini juga menunjukkan kemenyatuan raja dan keluarganya dengan rakyatnya.
Selain itu, sejak beberapa tahun terakhir, pendanaan upacara juga mendapatkan
bantuan dari pemerintah daerah.”
Setelah
waktu dan sumber pembiayaan ditentukan, maka tahap selanjutnya adalah
menyebarluaskan hasil keputusan kepada masyarakat luas. Dengan cara ini,
masyarakat mengetahui dan mempersiapkan semua kebutuhan upacara.
2.
Pelaksanaan
Upacara Tumpang Negeri merupakan
rangkaian ritual yang terdiri dari sedekah desa, buang-buang, dan Tumpang
Negeri itu sendiri. Secara
prosedural, rangkaian pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
a.
Sedekah desa
Sedekah kampung merupakan ritual
pembuka Upacara Tumpang Negeri. Dinamakan sedekah kampung karena dilaksanakan
di kampung-kampung yang berada di sekitar Keraton Ismahayana Landak. Selain
diisi dengan pembacaan doa selamat, upacara ini juga diisi dengan
bermacam-macam hiburan, seperti lomba sampan, pencak silat, pertunjukkan hadrah
dan zapin, festival makanan tradisional, dan lainnya. Tujuannya adalah untuk
memberikan kegembiraan kepada masyarakat yang berada di luar keraton.
Ritual ini dilaksanakan selama tiga
hari dengan melibatkan semua warga kampung dari hulu sampai hilir sungai
Landak. Pada hari pertama, ritual sedekah kampung dilaksanakan di kampung yang
berada dibagian hulu sungai. Pada hari kedua semakin ke hilir, sampai akhirnya
kampung yang paling hilir pada hari ketiga. Setelah sedekah kampung, maka
tahapan selanjutnya adalah pelaksanaan ritual buang-buang.
b.
Buang-buang
Setelah tiga hari melaksanakan sedekah
kampung, maka pada hari berikutnya dilaksanakan upacara buang-buang. Disebut
buang-buang, karena ritual ini ditandai dengan pembuangan (larung)
barang-barang, seperti telur ayam kampung, paku, daun sirih, dan pinang ke
Sungai Landak, tepatnya yang berada di depan Keraton Ismahayana Landak.
Sebelum melarung benda-benda tersebut
di Sungai Landak, terlebih dahulu diadakan ritual di Keraton Ismahaya Landak,
dengan dipimpin oleh seorang pawang (dukun). Selain sang pawang, ritual ini
juga dihadiri oleh Raja Ismahayana Landak, para kerabat keraton, dan para
pemuka adat. Ritual ini diisi dengan pembacaan doa-doa dan mantra-mantra.
Setelah ritual selesai, sang dukun
beserta masyarakat beranjak menuju ke Sungai Landak untuk melarung
barang-barang. Sebelum barang-barang tersebut dilarung, sang dukun terlebih
dahulu membaca mantra-mantra dalam bahasa setempat. Konon, ritual buang-buang
ini sebagai bentuk penghormatan dan permohonan kepada leluhur. Selain itu,
ritual ini juga untuk mencegah pengaruh buruk Upacara Tumpang Negeri.
Melihat tata cara dan bahan-bahan yang
digunakan dalam ritual buang-buang, sebagian masyarakat menganggap bahwa ritual
ini merupakan tindakan syirik (menyekutukan Tuhan Yang Maha Kuasa). Terkait hal
ini, Gusti Suryansyah menjelaskan sebagai berikut:
“Orang-orang yang kurang
mengerti terkadang menganggap ritual buang-buang sebagai tindakan syirik, yaitu
menyekutukan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa kami memohon keselamatan kepada
mahluk-mahluk gaib penunggu Sungai Landak, padahal yang kami lakukan adalah
meminta kepada Tuhan, yang berkuasa atas mahluk-mahluk gaib, supaya urat nadi
kehidupan ini tidak diganggu. Jadi, bukan meminta kepada alam gaib. Kami tahu
kok… meminta kepada selain
Tuhan itu perbuatan syirik, dan kami tentu tidak akan melakukan itu.”.
Pada saat sebagian orang sibuk
melakukan ritual buang-buang, sebagian yang lain sibuk menyiapkan keperluan
untuk upacara puncak, yaitu Upacara Tumpang Negeri keesokan harinya.
c.
Tumpang Negeri
Sehari sebelum acara Tumpang Negeri
dilaksanakan, atau ketika sebagian orang sibuk menjalankan ritual buang-buang,
sebagian lainnya dengan keahlian masing-masing sibuk mempersiapkan perlengkapan
yang dibutuhkan dalam pelaksanaaan Upacara Tumpang Negeri keesokan harinya.
Persiapan-persiapan yang harus dilakukan antara lain:
ü Membuat
anyaman daun kelapa muda berbentuk keranjang. Biasanya, anyaman berbentuk
keranjang ini dibuat oleh kaum wanita. Di dalam wadah ini, nantinya diisi
dengan berbagai perlengkapan, seperti panggang ayam kampung jantan, telor, nasi
pulut, dan lain-lain yang esok hari akan diantarkan ke berbagai penjuru landak.
ü Menyembelih
dan memanggang ayam kampung jantan. Jumlah ayam jantan yang disembelih dan
dipanggang disesuaikan dengan kebutuhan upacara. Pada suatu ketika, jumlah ayam
yang disediakan sebanyak empat puluh ekor. Setelah dipanggang, ayam tersebut
diletakkan dalam wadah berbentuk keranjang yang terbuat dari anyaman daun
kelapa muda. Setiap wadah diisi satu ekor panggang ayam jantan.
ü Membuat miniatur perahu dari kayu
meranti. Di dalam perahu dipasang boneka laki-laki dan perempuan yang terbuat
dari tepung. Selain itu, juga dilengkapi dengan beberapa boneka yang bertugas
sebagai pengawal atau pengayuh perahu. Sebagai pelengkap, miniatur perahu
tersebut juga diisi dengan dengan berbagai macam makanan (bekal) seperti
layaknya perahu berpenumpang yang akan bepergian jauh. Semua perlengkapan dalam
miniatur perahu tersebut merupakan bekal bagi roh yang akan dihantarkan (baca:
diusir).
ü Membuat boneka/patung laki-laki dan
perempuan dari tepung. Patung-patung
ini sebagai simbol orang laki-laki dan perempuan yang dilarung (dikorbankan).
ü Membuat nasi pulut, pulut rasul, dan
jajanan pasar. Semua barang-barang tersebut biasanya
dikerjakan oleh perempuan-perempuan tua.
Menyiapkan sesajian khusus. Sesajian
ini secara khusus dibuat oleh para wanita suci, yaitu para wanita yang sudah menopause.
Pada hari yang telah ditentukan, sejak
pagi buta semua orang sibuk mempersiapkan ritual. Secara garis besar, ada dua
kegiatan penting pada hari ini, yaitu mempersiapkan dan mengatur semua
barang-barang (termasuk sesajian) agar sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan
dalam pelaksanaan Upacara Tumpang Negeri, dan melakukan ritual Tumpang Negeri
itu sendiri. Adapun tahapan prosesinya adalah sebagai berikut:
· Sejak
pagi buta, para abdi keraton, khususnya kaum perempuan, mempersiapkan
barang-barang yang diperlukan dalam pelaksanaan Upacara Tumpang Negeri.
· Ketika
para abdi keraton sibuk menyiapkan barang-barang untuk keperluan upacara,
sebagian orang pergi menyusuri Sungai Munggu menuju ke Munggu Ayu untuk
melakukan ziarah kubur ke makam pendiri kerajaan Landak yang beragama Islam,
yaitu Raja Abdul Kahar atau Ismahayana, biasa disebut juga Iswara Mahayana.
Ziarah ini diikuti oleh raja dan kerabatnya, pemuka agama dan masyarakat, serta
masyarakat umum. Acara ziarah di makam Raja Abdul Kahar ini diisi dengan
pembacaan tahlil yang dipimpin oleh tokoh agama setempat, dan cerita tentang
riwayat hidup Raja Abdul Kahar yang disampaikan oleh Raja Ismahayana Landak.
Setelah ziarah, rombongan kembali ke
Keraton Landak untuk memulai Upacara Tumpang Negeri.
· Upacara dimulai dengan seremonial,
yaitu sambutan-sambutan dari panitia acara, raja, dan pejabat pemerintahan.
· Setelah acara seremonial selesai,
Tumpang Negeri didoakan oleh raja dan langsung diantarkan ke berbagai penjuru
negeri, seperti pertemuan
muara sungai, persimpangan jalan, rumah tua bersejarah, dan ke 10 kecamatan di
Kabupaten Landak. Khusus untuk Tumpang Agung, dilarung dari muara keraton,
menuju hilir sungai Landak.
Adapun tempat yang akan diletakkan tumpang adalah :
1. Keraton Landak satu buah.
2. Belakang keraton Landak satu
buah.
3. Tepian Keraton Landak satu buah
( kopol bangunan yang didirikan di tepi sungai depan keraton Landak.
4. Di rumah penembahan kerajaan
Landak satu buah.
5. Di rumah kediaman pangeran
mengku kerajaan landak satu buah.
6. Perempatan jalan jalur dua
Desa Raja satu buah.
7. Arah Dusun Raja Desa Raja satu
buah.
8. Arah ke Desa Amboyo satu
Buah.
9. Arah ke Desa Munggu satu
buah.
10. Arah ke Km 2 satu buah.
11. Arah Desa Serimbu satu buah.
12. Mes Pemda Landak ( dulunya
rumah kontrolir Belanda ) satu buah.
13. Batas kota Ngabang bagian
hilir satu buah ( arah sanggau ).
14. Batas kota Ngabang bagian
hulu ( arah kota Pontianak ).
15. Arah Desa Pesayangan satu
buah.
16. Arah Desa hilir kantor satu
buah.
17. Arah Dusun Tanjung satu
buah.
18. Arah sungai Buluhsau buah.
19. Makan raja Abdul Khahar satu
buah.
20. Pemakaman Raja-Raja Ngabang
di belakang Keraton Landak satu buah.
21. Makam menyukeDesa
munggu satu buah.
22. Makam pantek satu buah.
23. Makam mumggu tampui satu
buah.
24. Di Serawak Munggu satu buah.
25. Muara Sungai Menyuke satu
buah.
26. Muara Sungai Merasa satu
buah.
27. Muara Setahu satu buah.
28. Muara Sungai Bunut satu
buah.
29. Muara Sungai raiy satu buah.
30. Muara Sungai Rabe satu buah.
31. Muara Sungai Ngabang satu
buah.
32. Muara Sungai penabar satu
buah.
33. Muara Sungai Butasatu buah.
34. Muara Sungai merah satu
buah.
35. Muara Sungai ukah satu buah.
36. Muara sungai Dengoan satu
buah.
37. Muara Sungai Tebedak satu
satu buah.
38. Di pulau Bendu satu buah
39. Di Tepian Mungguk
Anggingsatu buah.
40. Di atas Munggu Angging satu
buah.
41. Di bandong satu buah.
42. Di Kaki Gunung Tiong kandang
satu buah.
43. Di atas Gunung Tiong Kandang
satu buah.
44. Di tengah-tengah kota
Ngabang satu buah.
Dilarungnya
tumpang agung di Sungai Landak menjadi penutup dari rangkaian Upacara Tumpang
Negeri. Perjalanan perahu menuju ke muara merupakan simbol perginya
segala macam bencana dari tanah Landak.
E.
Doa-doa atau Mantra Tumpang Negeri
Dalam pelaksanaan upacara ini, doa-doa
dan mantra yang dibaca antara lain:
· Doa tolak bala dan doa selamat. Doa ini
dibacakan oleh tokoh agama ketika melaksanakan sedekah desa.
· Bacaan tahlil. Doa ini dibaca
pada saat melakukan ziarah kubur di makam Raja Abdul Kahar, raja pertama
Kerajaan Ismahayana Landak yang beragama Islam.
· Mantra dalam bahasa setempat. Mantra
ini dibacakan oleh pawAng (dukun) adat ketika hendak melaksanakan ritual buang-buang.
Isi mantera yang dibacakan antara lain berbunyi
sebagai berikut :
Orang
tua nenek datu, juata aek tanah. Ini kami memberikan sesembahan atau sajian
makan dan minum, selasai makan dan mnum kami minta tolong agar keluar dari
daerah kami, jangan menganggu masyarakat dan segala kerukunan kami, kami minta
ampun dari ujung rambut sampai ujung kaki. Karena orang tua nenek datu juata
tanah yang mengetahui apa yang tidak kami ketahui, apa yang tidak kami lihat.
Begitu juga nenek datuk orang yang halus, memgetahui adat istiadat/memegang
titik dacing timbang teraju, kami manusia yang banyak kelemahan dan
kekurangannya.
Kemudian
dihamburkan beras kuning atau beras hijau, sedangkan doa yang di tujukan kepada
para Nabi :
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatu Nabi Adam penggaduh tanah, Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatu Nabi Khaidir penggaduh air, Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatu Nabi Ibrahim penggaduh kayu Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatu Nabi Nabi Allah sulaiman penggaduh sekalian sifat
yang bernyawa, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu Nabi Tarkob penggaduh
batu. Saya minta dijagakan sekalian rakyat didalam negeri ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar